KELAS DUA
Kebiasaanku terus berlangsung selama setahun hingga pada kelas dua, aku mulai ingin mengendusi punggung ibu lebih sering lagi. Suatu saat ibu sedang nonton TV sore-sore. Berhubung kami tak punya bangku, kami memakai karpet lusuh di tengah ruang tamu tanpa perabot lain. Hanya ada lemari di situ. Ibu biasa nonton tv tidur miring menghadap TV.
“Ibu…”
“Mau apa? Jajan ya? Ini tanggal tua, Ndra… Ibu ga ada duit…”
“Yaaaahh… Masa ga ada sih?”
Sementara lubang hidungku kupepet ke lengan harum ibu sehingga aku bernafas di lengan ibu.
“kamu jangan marah ya? Tapi ibu memang ga ada duit,” katanya lagi.
“Hendra akan peluk ibu terus kalau ga dikasih…”
Pikirku ini akan win-win solution karena kalau dikasih aku bisa jajan, kalau enggak aku bisa endusin ibu. Maka aku beranikan diri merebahkan diri di belakang ibu menyamping juga dengan tangan kiri menyusup ke bawah tubuh ibu, sementara ibu mengangkat tubuhnya sehingga kedua tanganku memeluk ibu dengan kedua tangan di perutnya yang langsing.
“Peluk aja sampai bosen. Ibu emang ga punya duit…”
Aku dengan senang hati merapatkan diri ke tubuh ibu. Walaupun aku tak berani menempelkan bagian bawah tubuh, namun kepalaku kini aku taruh dilantai namun hidungnya sudah dekat sekali di bahu kiri ibu. Tali daster ibu jatuh sehingga hidungku hampir menempel di belikatnya. Setelah beberapa menit tak ada apa-apa, aku memajukan hidungku hingga menempel sedikit di belikat ibu sehingga kini aku menghirup bau tubuh ibu dengan lebih baik.
Mulai saat itu, tiap nonton TV, aku akan memeluk ibu dari belakang dan mengendusi tubuhnya. Hingga lama kelamaan hidungku bukan hanya menyentuh sedikit kulit ibu, namun aku menempelkan hidungku dan bernafas di kulitnya yang indah itu. Pernah ibu ingin memberikan duit kepadaku untuk jajan namun aku bilang aku ga butuh jajan dan duitnya lebih baik di simpan aja.
Sampai saat itu aku mengendusi ibu ketika kami tidur siang atau sore dan juga waktu ibu menonton TV. Yang membuatku bahagia adalah, ibu tidak pernah berubah sikap terhadapku. Tidak ada larangan dari mulutnya keluar, seakan apa yang aku lakukan itu adalah hal yang biasa, yang tak perlu dibahas. Aku makin menyayangi ibuku karena beliau tidak risih saat anak kandungnya menempelkan hidung di punggungnya yang terbuka.
Namun, enam bulan kemudian aku mau lebih. Wangi tubuh dan kehalusan kulit ibu menjadi candu bagi aku yang kecil ini. Bila ibu sedang duduk, entah sedang menghadap meja di ruang tamu, entah sedang cuci piring di bak tempat cuci piring, pokoknya bila ibu tidak sedang berjalan, selama tubuh ibu berdiam cukup lama, aku akan memberanikan diri entah duduk atau berdiri di belakangnya dan mengendus punggungnya yang terbuka.
Pertama kali aku memberanikan diri adalah ketika ia menjahit di ruang tamu yang tanpa kursi itu, kami sudah makan malam dan menonton TV. Aku sudah mengendus-endus punggungnya seperti biasa dengan tiduran di belakang ibu, namun ibu baru ingat bahwa ada baju yang harus dijahit. Maka ibu mengambil kotak jahit dan baju yang dimaksud untuk kembali ke ruang tamu untuk menjahit sambil menonton TV.
Ibu bersimpuh di depan meja kecil yang ada di tengah ruang tamu. Biasanya, bila ibu menghentikan kegiatanku untuk mengendusi tubuhnya, aku akan menunggu sampai ibu menonton TV lagi dengan tiduran, atau sampai waktunya kami berdua tidur. Namun malam itu, aku memberanikan diri untuk duduk di samping ibu, melingkarkan tanganku di pinggangnya dan perlahan mulai menaruh hidungku di bahunya.
“Awas dong… Lagi jahit nih…” kata ibu.
Maka aku bergerak ke belakangnya dan memeluk ibu dengan kedua tanganku dan menempelkan pipiku ke punggungnya.
“Akhir-akhir ini kamu kolokan…” kata ibu dengan perlahan.
Aku menunggu perkataan ibu selanjutnya. Pikirku ia pasti akan marah. Tapi tidak ada lanjutan dari mulutnya. Menurutku itu cukup. Aku sedikit menempelkan sebelah hidungku dan aku disuguhi wangi tubuh perempuan yang melahirkanku ini. Sungguh nikmat. Setelah beberapa menit aku ganti pipi yang satu lagi dan melanjutkan endusanku.
Tahu-tahu ibu berkata.
“Ibu perhatiin kamu seneng banget ngendus-ngendus badan ibu. Ga kebauan?”
Aku kaget. Dengan terbata-bata aku berkata.
“Eng… engg… Engggak bu… Ibu ga… Ba… Ga bau…”
“Kamu ada-ada saja tingkahnya,” kata ibu untuk kemudian kembali terdiam. Aku sedang bingung apakah ibu marah atau tidak padaku. Bila marah, nada suara ibu biasanya tinggi. Tapi tadi tidak. Maka dengan jantung berdebar keras aku mengendusi ibu lagi. Kali ini ibu terdiam. Aku mengendusi ibu hingga ibu selesai menjahit.
Aku sebenarnya saat itu heran kenapa ibu tidak marah, namun aku menjadi bahagia karena ibu tidak pernah melarang aku. Setelah aku lebih besar dan hubunganku dengan ibu lebih intim, aku baru mengetahui bahwa sebenarnya saat aku kelas dua ibu sedang merasa kesepian dan sedih, berhubung ayah ketahuan punya isteri muda di kampung.
Ibu saat itu merasa tertekan dan merasa bahwa dirinya jelek karena ayahku berpaling pada wanita lain. Maka dari itulah, ketika aku mulai mengendusi ibu secara terang-terangan, ibu menjadi terhibur. Perhatianku kepada ibu itu membuat ia mendapatkan kepercayaan dirinya kembali. Bahwa masih ada seseorang yang menyukai kedekatan dengan ibu.
Semenjak saat itu, kapanpun ibu duduk atau tiduran, aku akan selalu berusaha berada di belakangnya untuk kemudian mengendusi punggungnya. Kegiatan endus-mengendus itu berlangsung selama beberapa bulan dan semakin lama aku semakin berani. Pada mulanya aku hanya menaruh hidung di tengah punggungnya, namun suatu ketika aku coba menggeser hidungku ke kiri, ibu tidak protes.
Kugeser ke kanan juga tidak ada tanggapan. Maka lama kelamaan aku mulai mengedus tubuh ibu perlahan dari tengah kemudian bergerak ke pinggir ke arah belikat untuk kembali ke tengah lalu terus ke pinggir satu lagi dan kembali ke tengah. Lama kelamaan gerakanku tidak hanya kanan kiri, tapi mulai bervariasi.
KELAS TIGA
Entah kenapa nafsuku perlahan seiring waktu juga makin tinggi. Dari mengendus perlahan, sedikit sedikit aku makin kuat menghirupnya. Semakin lama hidungku semakin berani menekan kulit punggung ibu dan nafasku semakin kuat menghirup wangi tubuh ibu. Dan juga, kini setiap aku melihat ibu di rumah aku selalu nafsu dan mendekati ibu untuk mengendusnya.
Tiap pagi, aku bangun, mandi, sarapan dan berangkat sekolah. Tidak ada kesempatan mengendus ibu karena ia sibuk di dapur dan aku tak mau mengganggu. Namun tiap berangkat aku akan cium tangan ibu. Setelah kelas tiga, di mana aku sudah berani mengendusi ibu tatkala ia sedang tidak bergerak, aku juga mulai berani mencium pipinya.
Pulang sekolah biasanya ibu sedang menonton TV. Aku akan mencium tangan dan kedua pipinya, untuk kemudian cuci muka dan ganti baju rumah. Lalu aku akan tiduran di belakang ibu seperti biasa lalu tak sungkan lagi mengendusi punggungnya, hingga waktunya tidur siang di mana aku biasanya akan mengendus-endus punggung ibu terus sampai aku terlelap.
Sorenya aku bangun dan mengerjakan PR, berhubung ibu marah kalau aku tidak belajar. Bila sudah selesai, aku akan mendekati ibu apapun yang sedang ia kerjakan, apakah ia sedang membaca, menjahit atau nonton TV, aku akan mengendusi punggungnya lagi. Sebelum maghrib aku akan mandi, kemudian menunggu ibu yang gantian mandi.
Kelas tiga itu, tingkahku makin tak genah saja. Aku bahkan mulai mengendus-endus lengan ibu. Itu juga karena pernah beberapa hari, ibu sengaja duduk menonton tv bersandarkan dinding dengan duduk menghadap TV, sehingga punggungnya selalu tertutup. Aku mula-mula kecewa dan tidak melakukan apa-apa, namun akhirnya aku sebal, karena sejak hari kedua ibu menutup punggungnya, aku dapat melihat senyum sinis ibu.
“Apaan sih kamu?” tanya ibu. Aku pura-pura tidak mendengar. Dengan deg-degan aku meneruskan kegiatanku itu dan ibu tidak berkata apa-apa lagi. Malamnya pun ketika ibu tidur telentang aku memeluknya dari samping dan mengendusi lengannya kembali. Akhirnya keesokan harinya ibu kembali beraktivitas seperti biasa, dan membiarkan aku mengendusi punggungnya lagi.
Namun, karena aku juga suka dapat mengendusi lengannya yang berarti aksesku bertambah, terkadang kala aku tidur, aku mengendus lengannya dahulu, kemudian punggung. Apalagi area ketiaknya, walaupun ibu menutup ketiaknya, tapi bau yang terpancar dari ketiaknya itu terasa lebih greng bila kuendus di sudut lengan ibu.
Setahun sekali kami akan pergi ke kampung ibu. Terkadang ayah menyusul, namun cuma sebentar. Dengan alasan pekerjaan yang tidak bisa lama-lama ditinggal, padahal sih dia memang lebih betah tinggal di tempat isteri mudanya. Dalam perjalanan ke kampung ibu, aku selalu merangkul ibu layaknya anak kolokan.
Maka dari itu aku sebal bila harus ke kampung ibu karena kesempatanku lebih kecil lagi di situ untuk mengendusi tubuh ibu. Di rumah nenek, kami diberikan kamar tidur adik bungsu ibu yang saat itu masih berumur 15 tahun yang bernama Ela. Singkatan dari Nurlela. Sebenarnya orangnya cantik, tapi dari dulu aku selalu menganggapnya sebagai kakak perempuan yang aku tak punya, jadi aku tak punya nafsu kepadanya.
KELAS TIGA - DI KAMPUNG
Kamar Mbak Ela hanya berpintukan kain, sehingga aku hanya boleh mengendusi punggung ibu ketika sudah malam saja. Namun, ada kejadian tak mengenakkan suatu ketika. Waktu itu siang hari di rumah nenek. Pagi-pagi kami berkunjung ke bibiku yang satu lagi. Ibuku tiga bersaudara. Kami kembali ke rumah nenek ketika sudah siang.
Waktu itu aku tidak tahan sehingga mengendusi punggung ibu. Namun ibu memarahiku dan melarangku meneruskan kegiatanku dengan ancaman ga dikasih lagi. Maka aku menurut. Kami yang kelelahan akhirnya tidur. Aku bangun duluan. Kulihat ibu masih tidur telungkup dan punggungnya seakan menatap aku menantang, sementara kepalanya menoleh aku yang berarti membelakangi pintu.
“Jangan terlalu lama… Nanti ketahuan…”
Ketika itu, Mbak Ela menyibak pintu kamar dengan memakai handuk saja. Ia terpaku melihat aku dengan posisi begitu. Kemudian seakan tak melihat aku, menutup pintu itu dan kemudian pergi tanpa berbicara apapun. Pada saat itu aku tak banyak pikir, karena sedang horny sehingga aku melanjutkan untuk mengendusi ibu hingga aku tertidur.
Barulah ketika sore hari telah tiba, aku menjadi takut. Apakah Mbak Ela akan mengadukan kami ke nenek? Atau ia akan memberitahukan kelainanku ini kepada orang lain? Namun, ketika aku bertemu Mbak Ela, dengan kikuk ia berkata bahwa ia ingin berbicara kepadaku malam harinya.
Malamnya Mbak Ela dan aku berbicara di kebun belakang di mana tidak ada orang yang dapat mendengar.
“Tadi Mas Hendra ngapain Mbak Mila (nama ibuku)?”
Dengan terbata-bata aku berkata, “cuma cium punggung ibu… Bukan pakai bibir, tapi pakai hidung…”
“Kenapa harus begitu, Mas?”
“Soalnya tubuh ibu wangi, Mbak. Hendra suka. Mbak jangan bilang orang lain ya? Takutnya ibuku yang kena marah orang…”
Mbak Ela menyanggupi untuk tutup mulut. Namun kulihat sorot mata Mbak Ela yang menatapku agak aneh malam itu. Namun namanya anak kecil, aku tidak begitu memperdulikannya saat itu.
Tidak ada insiden lain setelah itu sampai akhirnya kami pulang ke rumah, dan untuk sementara insiden itu terkubur di kepalaku. Ketika saatnya tidur waktu malam, aku mengendusi ibu tanpa takut lagi, karena bagiku, Mbak Ela sudah menyanggupi untuk menjaga rahasiaku ini. Sehingga, tiap siang dan malam aku mengendusi ibu dengan leluasa.
KELAS EMPAT
Mulai awal kelas empat, aku gembira sekali ketika ibuku membeli beberapa daster baru karena, semua daster yang baru itu bagian punggungnya lebih terbuka di banding daster-daster sebelumnya. Dari 3 buah daster yang kini dipakainya bergantian, 2 buah bermodel tali yang tipis, dengan bagian punggung terbuka tepat di bawah belikat dan potongannya datar, sementara bagian depannya menutup setengah dadanya, namun cukup untuk menutupi bukitnya.
Walaupun aku masih bocah, aku sedikit banyak mulai berfikir juga. Tampaknya ibuku menyukai ketika aku mengendus-endus punggungnya, karena ia ternyata mengganti dasternya dengan versi punggung yang lebih terbuka. Tampaknya obsesiku terhadap punggung ibuku ini tidak akan terhalang apapun lagi dikarenakan ibuku sudah memberikan lampu hijau.
Aku ingat ketika aku pertama kali melihat ibu memakai daster barunya, kebetulan itu yang memiliki tali di leher. Ketika pulang sekolah dan aku selesai ganti baju, aku bergegas ke belakang tubuh ibu. Tadinya aku tidak menyadari bahwa model dasternya lain dari sebelumnya. Aku pikir ini adalah daster baru tapi modelnya sama saja dengan sebelumnya.
“Kayak ngelihat setan kamu… Sebegitu kagetnya?”
Beberapa saat aku bagaikan patung. Kontolku menegang secara cepat mengalahkan rekorku sebelumnya. Ibu telah kembali asyik menonton TV dengan berbaring miring pada samping kiri badannya, tangan kanannya bebas bergerak. Entah kenapa aku bagaikan kesetanan, dengan cepat memeluk ibu dari belakang sambil rebah lalu aku mencium tahi lalat di tengah punggung ibu dengan gemas.
“Kamu kenapa, Ndra?”
Suara ibuku bagaikan dari sumur kudengar karena aku sedang asyik mencium punggung ibu dengan nafsu. Tak terasa tubuhku kini merapat dengan kontolku menekan lantai. Kunikmati aroma tubuh ibuku yang kini sudah kuhapal di luar kepala. Bau tubuh ibuku ini selalu aku ingat hampir setiap saat. Bahkan di sekolah aku selalu mengingat-ingat harumnya tubuh ibuku itu.
Setelah beberapa menit aku baru sadar bahwa aku mencium punggung ibu dan bukan mengendus. Untuk sejenak aku merasa takut, bibirku kulepas dari punggungnya. Aku melongok untuk melihat wajah ibu, namun ibu tampak asyik dengan acara di TV, maka aku coba cium lengannya perlahan. Ia masih diam. Aku cium lagi perlahan.
Dari situ aku menyimpulkan bahwa ibu tidak akan marah. Aku lalu memeluknya dari belakang, walau belum berani menekan pantatnya dengan kontolku, melainkan kontolku kutekan saja kelantai, lalu aku mulai menciumi punggung ibu dengan gemas. Satu ketika aku begitu gemasnya sehingga aku mencium punggungnya keras-keras dan melepaskan bibirku juga dengan gemas sehingga terdengar bunyi cipokan.
Aku sempat kaget dan takut dimarahi ibu, namun karena ia masih terdiam, aku coba mengecup punggung ibu lagi dengan keras seperti tadi. Setelah yakin ibu tidak marah, aku mulai mengecupi punggungnya dengan nafsu, sementara kontolku tergeser-gerser akibat aku menciumi sekujur punggung ibu yang terlihat.
Tak sengaja aku merasakan nikmat karena kontolku yang tergesek-gesek itu. maka sambil menggesek-gesek lantai, aku menciumi dan mengendusi punggung dan lengan ibu bagaikan orang gila hingga pada akhirnya aku mengalami orgasme kering untuk pertama kalinya, karena aku belum memproduksi sperma. Kenikmatannya ternyata tiada taranya.
Saat aku hampir sampai, aku sedang mengendus pangkal lengan ibu yang tertutup sambil mencium bagian belikatnya dengan keras, saat itu ibu mengangkat lengan itu untuk menggaruk kepalanya, terlihatlah ketiak ibu yang memiliki bulu keriting yang sedikit dan tipis namun menggerembol di tengah. Gerakan ibu membuat hidungku terdorong kedepan karena sedang mencium ibu dengan nafsu.
Serta-merta hidungku menancap di ketiak ibu yang saat itu sudah lembap karena cuaca agak panas. Sensasi bulu ketek ibu di hidungku dan aroma tubuh ibu yang sedikit asem menyerang indera penciumanku membuat aku orgasme. Sambil menekan kontolku ke lantai dan hidungku ke celah ketiak ibu, aku merasakan orgasme yang menerpa dengan dahsyat.
“sudah belum? Geli nih.” tanya ibu. Sambil terus bernafas di ketiak ibu aku menggeleng, karena ibu bukan menyuruhku melepaskan ketiaknya, tetapi ia menanyakan apakah masih mau terus atau tidak, dan tentu saja aku tidak akan melewatkan kesempatan ini. Ibu lalu merubah posisinya dengan tidur telentang, tangan yang diangkat kini dijadikan bantal tidur.
“udah sore. Ibu mau mandi nih. Udah bau.” kata ibu perlahan.
Aku menatap ibu, sambil bernafas di ketek ibu yang lembap aku berkata, “bau badan ibu enak. Jangan mandi dulu dong..”
“kamu ini aneh. Ketek bau diciumin” kata ibu ketika aku terus mengendus-endus dan menciumi ketek ibu itu.
“abis, ibu cantik sih. Keteknya aja cantik, wangi lagi.”
Ibu tersenyum sambil berkata, “ada-ada aja kamu. Segala ketek dibilang cantik. Ketek ibu kan udah keringatan gitu. Udah bau asem. Lengket nih. Ibu mau mandi.”
“tapi Hendra suka banget dengan bau ketek ibu. Bentar lagi ya bu mandinya. Hendra belum puas nih. Boleh ya bu?”
“anak gendeng. Ya udah puas-puasin deh ciumin ketek ibu.”
Hari sudah mau maghrib. Aku masih menciumi ketek ibu. Biasanya ibu akan ke dapur, namun kali ini dia masih menonton TV. Tidak seberapa lama aku ngaceng lagi. Terkadang aku benamkan wajahku dan menghirup ketek ibu dalam-dalam, terkadang aku menciumi ketiak ibu dengan penuh nafsu. Tak lama aku mulai mencium dengan membuka mulut, sehingga ketika bibirku menyentuh kulit ketiak ibu, bulu ketek ibu ikut masuk ke bibir.
Saat itu ibu mendesah. Maka aku mulai mengunyah bulu ketiak ibu itu sehingga lidahku merasakan keringat ibu dari saripati ketiaknya, sementara kontolku mulai aku gesekkan di lantai lagi. Lama kelamaan aku mulai mengenyoti bulu ketek itu. Pertama perlahan-lahan, namun lama kelamaan, seirama dengan orgasmeku yang semakin dekat, aku mulai mengenyot bulu ketek ibu dengan kuat.
Saat itu ibu memegang kepala bagian belakangku dengan tangan yang satu dan membelai rambutku untuk kemudian mencium rambutku. Aku menjadi tak tahan lagi, aku mengalami orgasme keringku yang kedua sementara mulutku kini menyedot pangkal ketek ibu, kulit dan rambutnya. Setelah beberapa saat klimaks, aku telentang di samping ibu kelelahan.
Sambil tersenyum ibu berkata, “tuh udah puas kan? Ibu mau mandi lalu masak.”
“Yah… Jangan mandi bu. Hendra suka bau ketek ibu. Masak aja tapi jangan mandi.”
“Lah… Emangnya kenapa jangan mandi?”
“Biar Hendra nanti ciumin lagi ketek ibu.”
“Belum puas juga, Ndra?”
“Sekarang sih udah. Tapi nanti kan mau lagi..”
“kan lebih enak kalo ibu mandi, Ndra.”
“Ga enak kalo bau sabun. Hendra maunya bau tubuh ibu sendiri. Ya bu ya?”
Ibu kemudian bangkit dan pergi ke dapur untuk menyiapkan makanan. Ia tidak mandi malam itu, membuatku sangat senang. Ternyata ibu sangat baik dan memenuhi keinginanku yang mesum ini. Sepanjang makan malam aku tidak berani menatap ibu, namun ibu seperti tidak mengalami apa-apa dan bertingkah biasa saja.
Saat tidur, ibu seperti biasa memunggungiku. Aku sebenarnya masih malu atas kelakuanku tadi, namun aku tak tahan melihat punggung telanjangnya. Maka sekitar dua menitan aku menatapi punggung ibu aku mulai menciuminya lagi dengan nafsu. Kini kontolku langsung kugesek di tempat tidur. Tempat tidur berdenyit perlahan namun aku tak perduli.
“katanya mau cium ketek ibu?” tanya ibu tiba-tiba, “kok ciumin punggung?”
“punggung dulu. Ketek nanti, bu.”
“emang punggung ibu kenapa sih. Dari kelas satu kamu seneng banget sama punggung ibu.”
“cantik banget, bu. Ada tahi lalat hitamnya. Jadi tambah manis. Terus kulitnya putih banget, sama bentuk punggung ibu bikin Hendra gemas.”
“gemas? Bukannya nafsu ya Ndra?”
Aku tak menjawab karena percakapanku dengan ibu membuatku bertambah nafsu, apalagi suara ibu perlahan dan agak mendesah, membuatku pusing karena birahi. Melihatku yang terdiam tapi bertambah hot ibu berkata lagi.
“Hendra… Kamu itu masih kecil. Kok udah nafsu sih? Apalagi nafsunya sama ibu sendiri. Anak nakal kamu.”
Suara ibu begitu pelan dan halus membuatku semakin ganas menekan bibirku di punggungnya. Terkadang lengannya juga aku ciumi dengan penuh birahi. Sesekali aku membenamkan wajahku di tengah punggungnya untuk menghirup aroma tubuh ibu dalam-dalam. Sementara suara ibu terus kedengar, makin lama makin pelan hampir berbisik.
“Hendra nakal… Nafsu sama tubuh ibu… Itu namanya kamu itu omes… Otak mesum… Kamu itu nakal dan mesum Ndra… Mesumin ibunya sendiri…”
Setelah sekujur punggungnya dan lengan kanan ibu kuciumi, aku mulai ingin menciumi ketek ibu lagi, setelah beberapa menit memikirkan caranya dan tidak menemukan cara yang hebat, akhirnya aku memegang lengan kanan ibu itu lalu mendorongnya ke atas. Tangan ibu pertama-tama berat menahan, aku jadi kecewa dan berniat melepaskan lengan ibu, namun ibu tiba-tiba saja mengangkat lengannya sehingga tangannya di atas kepala lalu tidur telentang.
Aku langsung mengenyoti bulu ketek ibu. Tangan kiri ibu kembali membelai rambutku dan menatap wajahku. Aku sekilas menatapnya balik, tampang beliau memancarkan kasih sayang keibuan. Raut mukanya tidak menunjukkan kemarahan melainkan tatapan sendu, membuatku saat itu benar-benar mencintai ibuku. Aku masih kecil, aku tak tahu apa yang kurasakan.
“Hendra jorok banget sih… Ketek bau keringat ibu dienyot-enyot…”
Aku mengenyoti ketek ibu dengan penuh semangat. Bau ketek ibu memenuhi hidungku dan terekam di otakku. Tak akan pernah lagi aku lupakan bau tubuh ibu yang begitu memepengaruhi nafsu liarku sedemikan rupa sehingga membuatku melupakan segalanya. Sementara ibu terus meracau seakan ingin membuat aku klimaks.
“ya udah… Isep aja bulu ketek ibu… Puasin nafsu mesum kamu Ndra… Isep seluruh keringat ibu di bulu ketek ibu…”
Karena kupikir mengenyoti ketek ibu diijinkan, maka aku menjilat ketiak ibu dari bagian dasar lalu bergerak ke arah atas ke arah lengan kanannya sambil terus menatap ibu. Ibu menggigit bibir bawahnya dan terdengar suara ibu.
“Mmmmmhhhh… sekarang kamu jilatin juga… Suka banget kamu sama ketek bau ibu… Jilat terus Ndra… Rasakan asemnya keringat ketek ibu…”
Tampaknya ibu suka banget aku jilati keteknya, kalo melihat reaksi ibu itu. Kujilat lagi. Ia menggumam lagi. Kucoba jilati lengannya yang terbuka, tapi tidak ada suara gumaman ibu. Kujilat lagi keteknya. Ibu menggumam dengan bibir tetap digigit namun kini dahinya mengernyit. Wajah ibu begitu seksi. Lidahku kutekan di tengah keteknya yang berbulu halus itu lalu aku geleng-gelengkan kepalaku sehingga seluruh bulu ketiak ibu kini disapu oleh lidahku.
Ibu menggumam lebih keras kemudian dengan tangan kiri mengambil guling yang disamping ibu, ia memeluk erat guling itu dengan tangan dan kaki kirinya, sayang sekali aku tidak merasakan dadanya, karena ibu kini tidur menghadapku dengan tangan kiri mendekap kepalaku keras sehingga lidahku menempel ketat ketiaknya.
Aku kemudian mengenyot ketek ibu berkali-kali dengan keras bagai sedang makan. Saat itu kudengar ibu mendesah, bibirnya kini menganga dan tangan kirinya mendekap kepalaku erat-erat bagaikan ingin mulutku tertanam di ketiaknya. Ketiak ibu berasa asin karena keringat ibu mulai keluar dan aku mengenyoti bulu dan kulit ketiak ibu dengan buas karena aku sedang orgasme.
Esoknya sesudah mandi dan ketika kami akan makan, seperti biasa ibu di sampingku menyiapkan lauk di kamar tamu tak berbangku itu, kami menghadap meja kecil namun lebar di hadapan kami yang sudah ada nasi, lauk-pauk dan piring makan kami. Aku sekarang sudah berani, karena tadi malam bagiku adalah suatu pernyataan dari ibu bahwa ia menyukai bila ia kuciumi.
“Ndra… Pulang sekolah aja. Nanti kamu terlambat.”
Ibu tidak menolakku, karena ia menjanjikan nanti siang. Tapi aku sudah horni dan terus saja menciumi ketiak ibu, sehingga akhirnya ibu telentang dan membiarkan aku menuntaskan syahwatku di lantai. Karena aku horni, aku hanya bertahan lima menit saja. Setelah itu kami makan dan aku berangkat sekolah.
Semenjak saat itu, aku mulai berani di mana saja dan kapan saja menciumi punggung, lengan dan ketiak ibu. Biasanya ibu akan mendesah memeluk guling dan mendekapku ketika sudah malam di atas tempat tidur. Untuk pagi dan siang, ia membiarkanku tanpa ada reaksi apa-apa. Setelah agak besar aku baru tahu bahwa ibu selalu orgasme ketika akan tidur waktu malam saja, salah satu alasan adalah, aku akan lebih lama menggauli ibuku itu bila malam, karena di pagi maupun siang dan sore, aku cenderung lebih cepat sampai.
Dikarenakan aku sudah terang-terangan menjilat ketiak ibu, aku juga seringkali menjilati lengan, bahu dan punggung ibu. Hanya saja, tidak terlalu sering, dikarenakan tubuh ibu lama-kelamaan akan berbau seperti mulutku bila aku jilati. Biasanya waktu sebelum tidur siang dan malam saja aku akan mencium, mengendus dan akhirnya menjilati tubuh ibu karena setelah itu aku akan tertidur.
KELAS EMPAT - DI KAMPUNG
Ketika liburan panjang dan kami pulang kampung, kembali hanya malam saja aku dapat mengerjai ibuku. Membuat aku yang biasanya dapat melakukannya berkali-kali menjadi sebal sekali. Tadinya aku bilang ibu bahwa ga usah pulang kampung saja, tapi ibu malah berkata ketus.
“Otakmu itu emang udah ga beres. Mesum terus.”
Aku akhirnya mengalah. Pagi sampai siang biasanya aku main dengan Mbak Ela yang sudah kelas 1 SMA, karena ia makin cantik dan dadanya mulai menunjukkan lekuk wanita yang mulai matang membuatku senang juga dengan dia. Hanya saja, tampak bahwa Mbak Ela seakan ingin membahas sesuatu denganku sepanjang kami berdua bergaul, namun ia selalu mengurungkan niatnya itu.
“Kamu masih suka cium punggung Mbak Mila?”
“Masih, Mbak. Kenapa?”
“enggak apa-apa sih…” jawabnya menggantung.
“Emang Mbak mau ngerasain dicium punggungnya? Penasaran ya?”
“Enak aja…” kata Mbak Ela yang lalu lari ke arah sungai tempat kami biasa bermain. Aku mengejarnya berhubung aku sudah tak mampu menahan libidoku, dan kupikir siapa tahu Mbak Ela mau juga kuciumi seperti ibu. Ga ada salahnya mencoba. Apalagi Mbak Elaku ini sangat sayang padaku.
Mbak Ela kudapati sedang duduk di tempat favorit kami, yang agak menyempil di apit dua batu besar dengan dinaungi pohon besar. Aku duduk di sebelahnya. Mbak Ela lagi tampak asyik duduk di batu sambil mencelupkan kaki di air. Wajahnya, harus kuakui lebih cantik dari ibu, namun teteknya kalah jauh dengan ibuku.
Mungkin aku terlalu lama memandanginya sehingga ia berkata.
“Apa sih lihat-lihat Mbak terus?” wajahnya tampak agak memerah dan kelihatan tersipu.
“Abis Mbak cantik sih…”
Mbak Ela hanya mengeluarkan lidahnya saja lalu menatap sungai. Entah kenapa aku mencium pipinya dengan cepat. Mbak Ela terkejut sejenak lalu berkata.
“Mas Hendra ngapain sih?”
Aku hanya tertawa kecil sementara Mbak Ela nampak tersipu lagi. Aku cium pipinya lagi.
“Ih, Mas Hendra genit! Mbak Ela sebel!”
Mbak Ela hanya cemberut tapi tidak melakukan apa-apa lagi. Aku cium lagi pipinya. Kini ia terdiam saja. Aku cium lagi sekali. Mbak Ela tampak pasrah. Aku peluk Mbak Ela dari samping dan aku cium pipinya, kali ini lama. Nafas Mbak Ela menjadi berat. Aku coba cium mulutnya, berhubung aku belum pernah mencium cewek.
Maka kuminta Mbak Ela duduk di pangkuanku, setelah mengatur roknya agar terbuka, ia duduk di pangkuanku. Selangkangan Mbak Ela hanya ditutup celana dalamnya sementara aku masih memakai celana pendek dan celana dalam. Kami berciuman dan aku mulai menggoyang pantatku. Selangkangan kami bergesek dan bergoyang dengan tiga lapis pakaian, celana dalam Mbak Ela, celana pendekku dan celana dalamku.
Mbak Ela mendengus pelan, sejenak ia melepas ciuman dan berkata.
“Kamu ngapain Mas?”
“Mbak Ela, enak sambil digoyang, percaya deh.”
“nanti celana kamu basah.”
Aku tidak mengerti mengapa bisa basah, maka aku plorotkan celana pendek dan celana kolorku lalu menarik tubuh Mbak Ela lagi. Kini kelamin kami hanya terhalang cdnya. Kami saling menggesek kelamin lagi sambil ciuman. Ternyata benar, makin lama kontolku basah oleh cairan memek Mbak Ela yang sudah menembus celana dalamnya.
Akhirnya Mbak Ela menekan kontolku keras-keras dan ia tahu-tahu melenguh tertahan dengan lidah sedikit agak menjulur di atas bibir. Aku sedot lidahnya dan tiba-tiba tubuh Mbak Ela sedikit mengejan dan memeknya menekan batang kontolku kuat-kuat. Aku juga mendapatkan orgasme kecil sambil menyedoti lidah Mbak ela.
KELAS LIMA
Ketika pulang ke rumah, aku yang sudah pernah ciuman dengan bibiku yang bungsu, jadi berusaha mencium bibir ibu. Mula-mula aku takut melakukannya karena takut dimarahi, namun aku memberanikan diri pada hari pertama sekolah, karena ada kesempatan untuk melakukannya. Ketika aku pamit, aku cium tangan ibu, kemudian kedua pipinya dan dengan cepat aku cium bibir ibu.
Siangnya ketika pulang, ibu yang sedang menonton TV kuhampiri, setelah duduk di depan tubuhnya yang tidur miring itu, aku meminta tangannya untuk kucium, lalu kedua pipinya dan kucium bibirnya lagi.
“Kamu kok pake cium-cium bibir sekarang?” tanya ibu dengan suara perlahan tanpa ada nada marah.
“Emang ga boleh ya bu?” tanyaku.
“Boleh sih…” kata ibu sambil melirikku dengan satu alis dinaikkan, sepertinya hendak mengatakan bahwa walaupun boleh hal itu sedikit aneh.
“Terimakasih, bu” jawabku sambil menyolong satu ciuman ke bibir ibu lagi.
Setelah itu aku ganti seragamku dan aku hanya memakai celana pendek tanpa celana dalam, sementara aku hanya pakai singlet. Ibu hanya melihatku sekilas namun tidak memberi komentar apa-apa. Aku kembali menciumi punggung dan lalu ketek ibu seperti biasa sampai aku orgasme kering. Ketika aku bangun, ibu sudah di dapur.
Aku memeluknya dari samping seperti biasa. Alih-alih menciumi ketiaknya seperti biasa, aku berkata.
“Wah nikmat banget keliatannya. Terimakasih ya bu.”
Ibu menoleh ke arahku dan berkata.
“Tahu tempe sama sayur kok dibilang nikmat?”
“Masakan ibu pokoknya mantab.” kataku lalu mencium bibirnya lagi. Baru aku mulai menciumi keteknya.
Saat malam sebelum tidur, aku juga mencium ibu setelah mengucapkan selamat tidur.
Mulai saat itu, aku selalu mencium bibir ibu ketika pamit ke sekolah, pulang sekolah, mau tidur siang atau malam, dan ketika mau makan. Entah makan pagi, siang atau sore. Mula-mula muka ibu akan memerah dan sedikit kaget tiap kali aku cium. Namun seiring waktu, bahkan ibu membalas ciumanku sehingga bibir kami mengeluarkan suara kecupan pelan.
Lewat empat bulan semenjak itu, bertambah lagi aktivitasku. Saat itu sudah subuh, aku kebelet kencing. Setelah kencing aku kembali ke kamar tidur dan berbaring di belakang ibu seperti biasa dan alhasil aku menjadi horny. Apalagi namanya anak laki tiap bangun pagi burungnya juga bangun. Maka aku mulai menciumi punggung ibu lagi.
Ibu tertidur menyamping memeluk guling. Tadinya aku menggeseki tempat tidur seperti biasa pula ketika aku menciumi punggung ibuku, tetapi saat itu aku baru sadar bahwa ibu sedang tertidur, alangkah nikmatnya bila burungku menggeseki tubuh ibu dan bukan hanya menggesek benda mati seperti lantai dan tempat tidur.
Apalagi aku sudah merasakan nikmatnya menggesekkan kontol di memek, walau masih tertutup celana dalam. Maka perlahan aku yang masih memeluk ibu dari belakang, menggerakkan tubuhku hingga kini aku mmemeluk ibu sambil merapatkan selangkanganku di belahan pantat ibu. Kemudian aku mulai menekan kontolku di pantat ibu sambil menciumnya dengan nafsu yang mulai membara.
Karena begitu nafsu, aku baru menyadari beberapa saat tubuh ibu yang menyamping kini sudah terdorong ke depan sehingga tangan kanan ibu kini menopang ke depan. Badanku yang miring menindih punggung ibuku. Aku yang baru sadar segera melepas ciumanku, tapi kulihat ibu tetap tidur. Kucium lagi punggung ibu yang halus itu perlahan lalu kulepas.
Ibu tidak bergeming. Kucium dan kulepas lagi punggungnya. Kucium dan lepas lagi. Setelah beberapa kali ciuman perlahan, aku mencium punggung dengan cepat namun dengan keras sehingga terdengar bunyi kecupan bibirku di punggungnya. Tidak ada reaksi. Maka sambil kontolku tetap menekan pantat ibu, aku mulai mengecupi punggungnya.
Aku mengecupi sekujur punggung ibu yang setengah telanjang itu. Aku tidak ingin melewati satu sentipun kulit punggung mulus ibuku. Entah sudah berapa kali bibirku mengecupi sekujur punggung ibuku, nafsuku bukan mereda, namun makin membahana. Lama kelamaan aku menciumi punggung ibu bagaikan kesetanan, bagaikan ayam lagi makan beras, aku mematuki punggung ibuku dengan gerakan yang cepat dan keras hingga aku rasakan kontolku mengejan-ngejan, berhubung aku belom akil baliq, maka aku belum punya sperma, namun orgasme kurasakan.
Ketika aku lemas, aku melepaskan tekanan kontolku ke pantat ibu itu tanpa melepasnya. Aku masih memeluk ibu, namun tidak seerat tadi, dan wajahku masih kubenamkan di punggung ibu yang kini berkeringat. Aku mengusapi punggung basah ibu dengan wajahku. Aku mengecupi lagi punggung itu dengan perlahan.
“Numpang, Ndra, ibu sakit perut mau ke belakang.” kata ibu.
Aku terkaget, ternyata ibu sudah bangun dari tidurnya. Tanpa bersuara aku melepas ibu dan saat itu aku merasa takut karena aku sudah menekan kontolku di pantatnya.
Kuputuskan untuk segera mandi. Ketika aku sudah rapi, ibu sedang menyiapkan makanan. Kulihat wajahnya tidak ada tanda-tanda marah. Kuberanikan diri mencium bibirnya. Ibu membalas dengan kecupan yang sedikit keras. Membuatku bingung, apakah ia marah, tapi kalau marah tentunya tidak akan menciumku. Aku harus tahu apakah ibu sedang marah atau tidak.
“Hendra… Tadi pagi kan sudah… Apa belum puas?” tanya ibu. Suaranya sedikit meninggi tapi diucapkan dengan agak berbisik. Membuatku menduga-duga. Aku mengetes respons ibu dengan tidak menjawab tapi menggencarkan ciumanku sehingga terdengar bunyi kecupan keras akibat bibirku yang memaguti punggung putih ibu.
“Hendra… Kamu ngapain, nak?” tanya ibu. Pertanyaan ini seharusnya ditanyakan ibu sedari dulu. Semenjak aku mulai mengendusi punggungnya. Mungkin ibu baru merasa takut ketika merasakan kontolku menekan pantatnya tadi pagi. Hubungan ini berbahaya, dan kegiatan kami pagi tadi tentunya mengarah kepada hal yang tabu di antara keluarga.
Ketika aku masih asyik menciumi punggung ibu dan tak menjawab ibu berkata dengan agak keras.
“Hendra! Ibu tanya kamu harus jawab! Hentikan itu! Jawab ibu!”
Walaupun keras, tapi tidak berteriak. Hanya saja suaranya lebih tegas. Maka aku menghentikan ciumanku dan berkata.
“Hendra sedang menciumi punggung ibu yang putih dan seksi, seperti biasanya yang Hendra lakukan setahun terakhir ini. Setiap hari Hendra mencium punggung mulus ibu dan ibu tidak nanya. Ibu kan tahu. Tidak hanya punggung, lengan dan ketiak ibu adalah tempat Hendra menciumi ibu. Kenapa ibu tanya?”
“Yang kamu lakukan itu salah, nak. Aku ibumu…”
“tapi kenapa baru sekarang ibu ngelarang? Kenapa ibu membiarkan Hendra melakukan kesalahan selama setahun tanpa memberitahu?”
Hening. Ibuku tampaknya bingung juga menjawabnya. Keheningan ini aku hilangkan dengan cara menciumi punggung ibu yang mulai berkeringat. Mungkin ia sedang kebingungan mencari alasan. Namun aku tak peduli, kecupanku mulai bertambah keras dan suaranya memenuhi kamar tamu di pagi itu.
“Ini harus dihentikan, Hendra!” kata ibu dengan tegas, tapi masih tanpa berteriak.
“Hendra ga mau…” kataku cepat dan menciumi punggung ibu lagi.
“Hentikan!… Sudah!… Ibu ga mau!…”
Pundak ibu bergerak maju mundur, sesaat pundak yang kanan maju yang kiri mundur dan di saat berikutnya pundak yang kiri maju dan yang kanan mundur, seakan meronta, tetapi anehnya ia tidak membalikkan badan untuk menolak tubuhku, ibu seakan membiarkan aku dengan ciumanku di punggungnya. Aku menciumi ibu selama beberapa menit dengan ibu tetap menyuarakan protesnya.
“Hendra… Sudah! Sudah, Hendra!… Sudahlah… Hendra… Sudah…”
Aku makin giat menciumi punggungnya, sesekali aku jilati tubuh ibu yang basah. Keringat ibu sudah membanjir dan aku suka sekali rasa tubuh ibuku yang penuh keringat itu di lidahku. Aku juga menyukai ibu yang bergerak-gerak seperti saat itu, kegiatan kami berubah, biasanya ibu pasif, kini ia aktif bergerak.
“Jangaaaannnnn…” kata ibu saat itu, tapi tidak berteriak, bahkan agak mendesah. Ia memajukan tubuhnya ke depan, membuat tubuhku yang sedang memeluknya ikut maju dan saat itu kontolku menempel pada bagian atas pantat ibu yang kenyal. Bagaikan mesin yang otomatis menyala tanpa diperintah, kaki kananku kuangkat sehingga melintasi paha kanan ibu dan masuk di antara kedua kakinya, sementara kaki kiriku masuk menyusup di bawah paha kanan ibu, dengan tumit kananku menekan selangkangan ibu sehingga selangkanganku sendiri menempel ketat bagian atas pantat ibu.
Kedua kakiku seperti melingkari tubuh ibu untuk mempererat pelukanku. Bagaikan otomatis juga, kaki ibu yang bersila meregang hingga mengangkang saat telapak kanan kakiku masuk di antara kakinya, memudahkan gerakan kedua kakiku. Namun setelah tumitku yang kanan itu menekan selangkangannya, kedua kaki ibu menjepit kaki kananku.
Posisi kaki kami kini saling menjepit. Kedua kakiku menjepit tubuh ibu yang berada di depanku dengan kaki kanan di antara kedua kaki ibu, dengan kedua betisku yang menjepit kaki kirinya, sementara kedua kaki ibu menjepit betis kananku. Kurasakan ibu menekan memeknya di pergelangan kaki kananku.
“Hendra… Kamu nakaaalllll!” kini suara ibu setengah berteriak namun diselingi desahan yang terdengar erotis sekali,“udah… Udahhh… Udahhhhhhhh… Udhhhaaaaahhhhh…”
Ibu mengulangi kata-kata udah berkali-kali namun makin lama terderang makin mendesah… Bukan suara seseorang yang marah. Saat itu punggungya masih kukenyot, aku lepas kenyotanku dan melihat bahwa punggung ibu di tengah telah tercetak tanda cupanganku. Aku kemudian mengenyot punggung ibu lagi di bagian yang masih bersih cupangan.
“Hendra jahaaaat… Ibu benciiiii… Udaaaahhhhhh dooooong… Ibu ga mauuuu…” ibu meracau terus, kali ini terdengar suaranya bernada merajuk. Bagaikan seorang anak yang minta dibeliin mainan oleh orangtuanya. Perkataan ibu yang berisi penolakan disampaikan bagaikan seorang pacar sedang membujuk kekasihnya untuk melakukan sesuatu.
Tubuh ibu bergoyang maju mundur dan setelah beberapa saat aku baru sadar bahwa ibu sedang menggeseki pergelangan kakiku dengan selangkangannya yang terasa basah. Rupanya ibu juga sedang bernafsu. Maka aku imbangi dengan menggeseki pantatnya dengan selangkanganku juga sambil mulutku mulai mencupangi dan menjilat-jilat sekujur punggung ibu yang terbuka.
“Hendraaaa…” ibu hanya menyebut namaku tanpa berkata apa-apa lagi saat kurasakan ia memajukan badannya dan memeluk kedua kakiku erat-erat yang menyebabkan kedua telapak tanganku di gencet oleh payudara dan kedua pahanya. Celana dalam ibu yang menempel di pergelangan kakiku kurasakan sangat basah dan selama sejenak dapat kurasakan tubuh ibu yang menggigil.
Tubuh ibu tiba-tiba lemas. Tubuhnya mendoyong ke belakang seakan ingin menindihku. Aku menahan tubuh ibu yang lumayan berat namun tak berdaya hingga aku ditindih ibu. Karena beratnya, aku putar tubuh ibu ke samping sambil terus memeluknya di bagian payudaranya ketika ia sedang jatuh sehingga akhirnya kami tidur menyamping dengan kedua tanganku masih meremasi kedua bukitnya yang indah dan besar itu.
Gerakan itu membuat bagian rok daster ibu tersingkap lebih tinggi ke pinggulnya, sehingga kini terlihat seluruh celana dalam hitam ibu. Aku melihat celanaku dan celana dalam ibu menempel dan aku merasakan ibuku membalas goyangan pantatku. Tiap kali aku tusuk maka ia menekan balik, sehingga kontolku merasakan nikmat yang sangat.
Aku jadi bernafsu sehingga setelah lama aku menggeseki pantat ibu, aku tak menyadari bahwa posisiku makin ke bawah, karena otomatis selangkanganku mencari posisi yang lebih enak untuk menggesekkan selangkanganku, sehingga tahu-tahu aku menggeseki bagian bawah pantatnya di mana kutahu di baliknya ada selangkangan ibu dengan keras.
Maka pertama kali aku lepaskan tangan kananku dari payudara ibu, lalu secara perlahan aku memegang paha ibu yang mulus. Ibu mendesah. Aku elus-elus paha ibu sambil terus menggesek pantatnya, juga mulutku terus mengenyoti punggung ibu dan tak ketinggalan tangan kiriku meremasi payudara kiri ibu. Tiba-tiba saja kudorong paha ibu ke atas sehingga membentuk sudut 45 derajat yang menyebabkan selangkangannya terbuka.
Dengan tangan kananku juga, aku segera menarik celana pendekku hingga celana dalamku bebas, aku berusaha menekan selangkangan ibu, namun berhubung aku masih kecil dan pendek, setelah mencoba beberapa kali dan tidak berhasil, maka aku segera menarik tangan kiriku dari tindihan badan ibu, aku duduk di paha kiri ibu yang menjulur lurus ke bawah, lalu dengan cepat aku menempelkan selangkanganku ke selangkangan ibu yang hanya terhalang dengan celana dalam kami berdua, dengan perut menempel di paha ibu.
Aku dapat merasakan celana dalam ibu yang basah disertai bau vagina ibu yang kini tercium jelas. Dengan halangan yang minim, aku dapat merasakan belahan memek ibu menggeseki batangku. Kini posisi kami adalah ibu tidur menyamping dengan kaki kanan ditekuk, aku duduk di paha kiri ibu, kaki kananku menyelusup di tindih kaki kanan ibu dan kaki kiriku menempel pantat dan punggung ibu, tangan kananku memegang paha kanan ibu sebagai pegangan dan tangan kiriku kini meremasi tetek kanan ibu yang masih tertutup daster sambil mendorong selangkangan ibu dan memutar-mutar pantatku, tubuhku agak condong ke arah kanan.
“Hendra… Jangan sayaaaaanggg…”
Namun kurasakan ibu juga balas mendorong sambil menggerakan pantatnya memutar. Kini kedua selangkangan kami menempel dan saling bergesekkan tanpa dilepas. Dapat kurasakan celana dalam ibu membasahi celana dalamku akibat cairan kewanitaan ibu. Saat itu kupikir itu adalah keringat, karena punggung ibu sudah banjir keringat dan karena aku asyik menyedoti dan mengenyot punggung ibu dari tadi tanpa jeda.
“Aaaaahhhhhhhhh, Hendraaaaaaaa…” suara ibu yang penuh birahi menambahkan nuansa birahi yang membara. Ibu menjadi makin liar dan tekanan selangkangan ibu makin keras dan gerakannya makin cepat. Aku tak mau kalah dan membalas menggesek selangkangan ibu dengan keras. Sementara, tak sadar tangan kananku memegang bagian dalam paha ibu dan ketika aku sedang asyik mengulek selangkanganku di selangkangan ibu, tanganku tak sengaja mengangkat paha ibu sehingga paha itu mejadi dekat dengan wajahku.
Saat aku menyadari aku langsung mengenyoti paha putih ibu yang basah oleh keringat itu. Cukup lama aku mengenyot dan mulai menjilati paha kanan ibu itu sampai aku tak tahan lagi, aku mengenyot paha kanan ibu kuat-kuat dan mendorong kontolku keras-keras karena aku orgasme, sementara Ibu tiba-tiba melenguh dan mengerang sambil membarengi menekan balik selangkanganku.
Aku orgasme kering tanpa sperma, sementara tubuh ibu mengejan, dan selangkangan kami mendorong keras satu sama lain seakan ingin menghancurkan lawannya masing-masing. Aku terhenyak duduk kelelahan.
Beberapa saat kemudian ibu membalikkan badan sehingga telentang. Tangan kanannya diangkat untuk merapikan rambutnya yang awut-awutan karena kegiatan kami sehingga ketiaknya yang basah itu terbuka menampilkan bulu ketiak yang juga sudah lepek disiram keringat.
Aku menindih ibu lalu menghirup ketiaknya. Sementara kontolku yang lemes aku tekan di memek ibu dengan masih terhalang celana dalam kami.
Perlahan ibu berbicara padaku, ibu mewanti-wanti aku bahwa aku tidak boleh menceritakan kejadian ini kepada siapapun.
“Memang kenapa, Bu?”
“Karena ibu bisa masuk penjara,” jawabnya singkat.
Aku mengangguk pelan. Aku sedang menjilati ketiak ibu ketika ibu mendorongku pelan dan bangkit dan menyuruhku sarapan karena harus sekolah. Aku saat itu mulai horny dan berusaha memeluk ibu lagi dan menciumi tubuhnya ketika ibu berkata.
“Kamu harus sekolah. Harus jadi orang pinter. Kalau kamu ga mau nurut, ibu ga akan mau lagi meladeni kamu.”
Akhirnya aku mengalah dan segera sarapan untuk kemudian berangkat sekolah, tentunya dengan memberikan ciuman di bibir ibu yang dia sambut dengan keras, seperti gemas padaku. Setidaknya, hubungan kami mulai saat itu berubah menjadi lebih intim lagi. Kami sudah sampai ditahap saling menggesekkan selangkangan.
Ketika pulang, ibu membuka pintu, dan setelah pintu ditutup, aku tak lagi mencium tangannya, namun langsung pipi dan bibirnya. Aku mencium bibirnya dengan nafsu dan ibu saat itu juga menciumku dengan keras sehingga kecupan kami terdengar jelas. Aku buru-buru ganti baju. Kali ini aku tak pakai baju, hanya celana pendek, dan itupun tak pakai celana dalam.
Aku ingin merasakan halus kulit ibu di tubuhku tanpa halangan. Ibu sedang asyik menonton TV. Seperti biasa, ia menonton dengan tidur menyamping dengan kepala menghadap TV. Ia berbaring bertumpu pada bagian kiri tubuhnya. Kulihat rok dasternya tersingkap memperlihatkan hampir seluruh pahanya karena kaki kanan ibu membentuk sudut 45 derajat seperti saat aku mendorong pahanya tadi pagi.
Biasanya aku rebah di belakang ibu, tapi kini aku duduk tepat di belakang pantat ibu dan mulai meraba paha ibu yang halus. Ibu tidak bergeming bagaikan tidak merasakan sentuhan tangan kananku di paha kanannya. Aku mengelus-elus ke arah atas, tanganku bolak-balik ke atas ke bawah hingga akhirnya rok daster ibu ikut terdorong ke atas.
Perlahan dengan kedua tangan aku pegang hem rok daster ibu, lalu kutarik ke atas. Kurasakan halangan karena jepitan tubuh ibu di rok bagian kiri, namun tiba-tiba saja tarikan tanganku berhasil karena ibu sedikit mengangkat pinggul kirinya keatas hingga tahu-tahu karena aku begitu bersemangat, rok daster ibu itu kini sudah berjubel di pinggang ibu yang ramping dan putih.
Aku kembali mengelus paha kanan ibu dengan tangan kananku. Pengalaman tadi pagi membuatku sangat berani, apalagi aku sudah horni ketika aku pulang dan melewati ruang tamu sebelum masuk kamar untuk ganti baju. Maka, aku menarik paha ibu, tidak ada perlawanan dari ibu. Paha kanannya kutarik hingga ibu harus mengimbangiku dengan menggerakan tubuh telentang, sementara paha kiri ibu kudorong sehingga akhirnya ibu mengengkang.
Aku merangkak dan merambat di tubuh ibu hingga selangkanganku menempel di selangkangan ibu. Aku baru sadar ibu sedang menatapku. Kuperhatikan sejenak, tatapan ibu tidaklah mengancam, tapi tanpa senyum, sehingga memberikan kesan ia sedang memperhatikanku dengan seksama. Untuk beberapa saat aku di atas tubuh ibuku dengan kepala di atas dadanya, dengan tangan di samping tubuh ibu, selangkanganku menempel di selangkangannya, sementara kakiku lurus dan kedua kaki ibu mengangkang.
Aku menekan memek ibu yang masih terbalut CD dengan kontolku yang masih juga terbalut celana pendek tipis. Kemudian aku menggoyang pantatku ke kiri dan kanan. Kedua kaki ibu tahu-tahu melingkari pinggangku dan kedua tumitnya menekan pantatku. Kami hanya menatap sambil saling menggoyang pantat. Gerakan kami perlahan selama beberapa menit, tetapi ketika aku merasakan celana dalam ibu mulai basah, ibu mulai mempercepat goyangannya.
Setelah beberapa waktu lewat, tubuh kami mulai berkeringat dan tahu-tahu ibu memeluk kepalaku erat-erat. Aku terjatuh menindih ibu dengan kepalaku di dada ibu bagian atas. Aku ciumi dada ibu yang saat itu tertutup daster, ibu masih menggunakan daster dengan tali di leher. Aku mencium dengan buas dan ibu menggesekkan memeknya dengan keras sekali sehingga aku dapat merasakan bentuk bibirnya di batangku walaupun masih terhalang celana.
Kedua tanganku ku susupkan ke punggung ibu, ibu mengangkat tubuhnya, aku memegang kedua pundaknya dengan kedua tanganku sehingga kedua telapakku menghadap ke atas, kemudian aku mulai mengelus pundak dan leher ibu, setiap kali aku elus leher ibu dan menyusupkan tangan ke belakang, ibu akan mengangkat kepalanya karena tampaknya ia suka dielus di bagian leher belakang.
Entah berapa lama kami berpelukan dan menggesekan kelamin sementara aku terus menciumi dada ibu yang tertutup daster. Ibu tampak tenggelam dalam kenikmatan erotis kami, mungkin karena ayah jarang memberikan nafkah biologis dan mungkin juga ibu sudah lama kesepian. Tetapi aku tidaklah terlalu konsen kepada gerakan erotis kami.
Dengan gerak cepat aku tarik kedua tanganku, aku betot bagian atas daster ibu itu sehingga menjumbai di pinggangnya, ibu tampak terkejut sehingga belum dapat bereaksi ketika dua buah payudara ibu yang cukup besar, berbentuk bulat dan tampak kenyal dengan lembah sempit di antara kedua gundukan payudara yang masih tegak dan tidak menggantung itu terpampang di hadapanku tanpa penutup.
Areola ibu berwarna coklat muda dan besar, besarnya sekitar tiga kali dari logam seribuan versi original, sementara puting ibu sudah menonjol sebesar jempol bayi. Sebenarnya ingin aku menikmati pemandangan ini lebih lama, namun sebelum ada penolakan atau sebelum dimarahi, aku segera memegang kedua payudara ibu yang besar dengan kedua tanganku lalu menangkap puting kiri ibu dengan mulutku dan mulai mengenyoti tetek ibu.
Ibu mendesah lalu menarik bagian kepalaku sambil membaringkan diri di lantai ruang tamu itu.
“aaaaahhhh… Hendraaaa… Kamu bukan bayi… Kok nenen sama ibu? Jangan sayaaaaanggggg… Hmmmmmphhhhh”
Walaupun kata-kata ibu penuh penolakan, tapi ibu kini memeluk badanku erat-erat. Dan goyangan pantatnya makin cepat dan begitu liarnya. Celanaku bagian selangkangan sekarang sudah lepek dibasahi cairan kewanitaan ibu. Mulutku mulai menjilati dan menciumi kedua tetek ibu yang besar itu, ketika aku mengenyot bulatan payudaranya ibu berteriak lirih.
“Jangan dikenyot di situ! Nanti Bapakmu tahu, kita bisa celaka! Kenyot pentilnya saja, sayaaang…”
Maka aku hanya mengenyot-ngenyot pentil payudara ibu, sementara bagian payudara lain hanya kucium dan jilat, tetapi satu cupanganku tadi sudah terlanjur menghiasi tetek kiri ibu. Tapi aku tidak kecewa. Fakta bahwa aku dapat melihat dengan dekat dua buah payudara ibu yang begitu indah, putih, dengan kulit halus dan tekstur yang lembut dan kenyal itu sudah membuatku bahagia.
Kulit ibu begitu halus dan harum. Wangi tubuh ibu yang lembut namun merangsang ditambah bentuk yang langsing dengan payudara yang besar dan mancung, apalagi areola puting yang besar dan pentilnya sendiri mengacung tegak, dihiasi lembah sempit, membuat aku merasa sedang memandang tubuh bidadari kahyangan.
“Hendraaaaaaa… Kamu nakaaaaalllll!” kata ibu ketika kurasakan tubuh ibu memelukku begitu keras hingga aku hampir tidak dapat bernafas. Celana dalam ibu saat itu terasa hangat sekali dan basah kuyup yang akhirnya berhasil membuatku orgasme kering lagi.
Kami terdiam beberapa saat dengan aku bernafas di gundukan tetek kanan ibu. Setelah beberapa menit aku melihat ibu sedang menatapku tanpa suara. Aku ingin sekali tahu apa yang ia pikirkan. Kami hanya menatap terdiam beberapa saat. Karena tidak ada reaksi ibu, aku menciumi payudaranya lagi. Aku sudah tidak horny sebenarnya, namun aku menyukai bentuk tetek ibu.
Aku menciumi tetek ibu sambil terus melihat mata ibu yang sebaliknya terus menatap mataku. Aku mempermainkan kedua payudara ibu dengan semangat, bagaikan dapat mainan baru. Pun, aku sebenarnya tidak memiliki mainan sebanyak yang aku mau, karena keadaan ekonomi kami, tapi ternyata ibu menyediakan mainan yang terindah bagi diriku.
Mungkin ada lima menit aku asyik mempermainkan payudara ibu sambil menindihnya dan selama itu kami terus menatap satu sama lain. Banyak hal yang aku pikirkan saat itu, namun satu yang mengusik batinku, aku suka sekali ketika berciuman dengan Mbak Ela, bibiku. Maka rasa penasaran itu timbul ketika aku menjelajahi kedua bukit kembar ibu dengan mulutku.
Setelah beberapa waktu aku asyik menjelajahi kedua buah dada ranum ibuku, tahu-tahu ibu memeluk tubuhku erat-erat, memutar tubuh kami sehingga aku telentang, ia menekan selangkangannya di batangku yang sudah mengeras, lalu mulai menekan kontolku dengan memeknya secara cepat, kedua tangannya di samping kepalaku.
“nenen terus, Ndra… Isepin pentil ibu… Sedot pentil ibu keras-keras… Jangan berhenti, anakkuuuuu… Anakku sayaaanggg… Terus sedot susu ibumuuu…”
Ibu makin keras saja menggoyang pantatnya, aku mendorong pantatku bertubi-tubi mengimbangi serangan ibu. Kami berpacu dalam birahi kedua kalinya dalam waktu yang singkat di ruang tamu. Peluh kami bercampuran lagi payudara ibu kini dilumuri oleh keringat kami berdua dan ludahku, sehingga lama kelamaan baunya adalah campuran bau tubuh kami dan bau mulut aku.
Akhirnya kami berdua mencapai orgasme bersamaan lagi. Ibu memelukku erat-erat dan kami bergulingan hingga akhirnya berpelukan miring dengan tubuh ibu memepet dinding kamar. Tak lama aku asyik menciumi lagi kedua payudara ibu. Ibu hanya memejamkan mata saja saat aku asyik melumati dadanya. Kujilati dan kucium seluruh payudaranya sementara khusus pentil ibu aku kenyoti juga.
Namun setelah sepuluh menitan ibu berkata ia ingin tidur siang lebih cepat lalu masuk kamar. Dasternya dipasangnya kembali, sehingga aku sangat kecewa, namun aku langsung menyusulnya ke dalam kamar. Saat itu ibu sedang duduk di tempat tidur untuk mengikat rambutnya, aku langsung menghampirinya dan berkata.
“Selamat tidur, bu.” lalu dengan cepat mencium bibirnya. Ibu hanya menatapku dengan aneh. Aku langsung tidur di belakang ibu. Ibu saat itu tidur tapi tidak membelakangiku, melainkan menghadapku.
Aku kecewa dan mungkin terlihat di wajahku karena ibu lalu berkata.
“Kenapa? Kecewa ya ga bisa ciumin punggung ibu?”
Wajah ibu menunjukkan wajah nakal penuh kemenangan membuatku sebal. Namun aku dengan cepat dapat menjawab.
“Enggak kecewa, kok. Karena sekarang Hendra bisa cium bibir ibu.”
Kupeluk ibu sehingga dadanya menempel di dadaku, dapat kurasakan puting payudaranya menempel di dadaku, lalu kucium bibirnya cepat. Nafas ibu dapat kucium dari dekat. Ibu hanya menatap wajahku. Aku cium lagi bibirnya. Ibu masih saja diam. Aku cium lagi kali ini sedetik lebih lama. Nafas ibu menjadi agak berat.
Kucium lagi, kali ini sekitar tiga detik aku cium. Aku peluk erat ibu, dan kaki kami saling bergesekkan sehingga tahu-tahu kaki kananku sudah dijepit kedua kaki ibu. Kucium lagi bibirnya kali ini cukup lama aku tekan bibirnya. Nafas ibu menjadi lebih cepat. Ketika kulepas, terdengar suara kedua bibir kami berkecupan.
Kutekan bibirku dengan keras ke bibir ibu yang lembut dan lembab itu. Tahu-tahu ibu merangkul kepalaku dengan kedua tangannya dan saat itu bibir ibu membuka dan memagut bibirku berkali-kali bagai ingin mengunyah bibirku. Bibir ibu begitu basah dan nafasnya begitu panas di wajahku. Aku mulai berusaha mengimbangi ciuman ibu dengan membuka bibir dan memagutnya balik.
Ibu saat itu mulai mendesah-desah. Selangkangannya mulai menggeseki paha kananku, sementara kedua kakinya menjepit pahaku itu dengan keras. Aku masturbasi di perut ibu, dan ibu masturbasi di pahaku. Kini aku sudah mulai mengerti cara orang dewasa ciuman. Lidahku mulai menari-nari berpasangan dengan lidah ibuku.
Aku lepaskan lagi tali di leher ibu lalu kutarik daster itu ke bawah sehingga berjumbel di pinggangnya. Aku lepaskan ciumanku dan meregangkan pelukanku. Ibu tampaknya sudah mengerti maksudku karena ia segera tidur telentang. Aku dorong rok dasternya ke atas sementara ibu dengan rela membuka celana dalamnya.
“Kok dibuka?” tanya ibu lirih.
“Biar Hendra sama ibu cuma dihalangin celana dalam ibu saja. Biar Hendra bisa ngerasain tanpa banyak yang halangin.”
Lalu aku mulai menindih ibu dengan kontolku menekan selangkangannya, sementara kedua tanganku meremas kedua payudara ibu yang bulat nan indah itu. Sementara bibirku mulai mengunyah pentil toket kanan ibuku.
“Ssshhh… Yeaaahh… Sedot pentil ibu sambil gesekkin titit kamu di celana dalam ibu… Yeaaahh… Kayak gitu… Yang keras, Ndra… Yaaaa… Jangan berhenti…”
Celana dalam ibu yang sudah basah kini berasa hangat dan bertambah dengan cairan vagina ibu yang baru. Tubuh ibu kini sudah mengeluarkan bau wanita dewasa yang penuh birahi. Mulutku bolak-balik mengemut pentil kanan dan kiri ibu sementara terkadang gundukan bukitnya aku jilat dan ciumi juga. Kini kedua kaki ibu memeluk tubuh bawahku dengan kedua tumit yang ditekan keras di pantatku.
“goyang terus… Goyangin selangkangan ibu… Sedot terus… Terus sedot tetek ibu… Goyang lebih keras… Ya… Kayak gitu…”
Mungkin karena aku sudah sampai tadi, kini aku tidak cepat-cepat orgasme. Sekitar dua puluh menitan aku menggeseki memek ibu yang terbalut Celana dalam itu dengan kontolku yang telanjang. Nafas kami berdua sudah semakin memburu dan gerakan pantat kami semakin liar, hingga akhirnya ketika ibu mendekapku sangat erat sambil mendesah keras.
“Ibu sampe lagiiii…”
Aku pun tak kuat dan orgasme kering lagi. Barulah setelah itu kami tidur dengan masih berpelukan bagaikan dua sejoli.
Waktu maghrib aku bangun terlebih dahulu, kulihat ibu setengah telanjang dengan daster di pinggang dan celana dalam putihnya. Aku menarik daster ibu itu hingga lepas dari tubuhnya. Ibu saat itu posisinya sudah telentang. Aku memeluknya lagi dan mulai menetek. Ibu terbangun tapi tetap membiarkan aku melakukan kegiatan mesumku itu.
Saat ini tubuh ibu mengeluarkan bau yang lebih tajam dikarenakan belum mandi sore. Dari sela-sela ketiaknya aku dapat mencium bau tubuh ibu menyengat samar-samar. Kupegang tangan kiri ibu dengan tangan kananku, lalu aku dorong ke atas sehingga kedua tangannya terbuka ke atas bagaikan sedang ditodong penjahat.
Kulepaskan pentil ibu dan aku menciumi dadanya dan bergerak naik ke atas. Bau ketek ibu semakin kuat di hidungku, sehingga ketika sudah hampir mengenai bulunya, aku yang sudah gemas sekali, serta-merta membenamkan hidung di pangkal lengan ibuku yang seksi itu. Tahu-tahu tangan kanan ibu menyusup ke balik celana dalamnya dan ia mengusapi klitorisnya saat aku mulai mengenyot bulu ketek ibu dan merasakan peluh ibu disertai rasa asin dan asam di lidahku.
Aku ingin segera menggesekkan kelamin d menghirup bau tubuh ibu dalam-dalam aku. Kutepiskan tangan kanan ibu dan menariknya keluar celana dalam ibu. Aku geser tubuhku di atas tubuh ibu tanpa mengangkat penuh tubuhku, lalu menusuk selangkangan ibu mengharapkan untuk mengenai celana dalamnya karena aku tak dapat melihat selangkangan kami berdua karena sedang menindih ibu.
Kontolku bergerak maju dan tahu-tahu nyelip di antara sesuatu yang basah dan hangat dan untuk kemudian keluar kembali. Aku kaget, ternyata celana dalam ibu sudah tersibak pada bagian bawahnya ke bagian samping oleh ibu ketika tadi menggesek klitorisnya sendiri sehingga kontolku tadi menerobos masuk bibir luar memek ibu untuk kemudian melejit keluar lagi karena tidak mengenai lubang memeknya.
Bagian atas kontolku sekarang menempel di memek ibuku. Batangku itu menyibak kedua bibir luar vagina ibu. Aku meracau sambil menggeseki bibir memek ibuku. Ibuku mendekap kedua pantatku dengan tangannya. Aku kini mengenyoti tetek kanan ibu dengan penuh nafsu. Ibu menekan-nekan klitorisnya di sekujur kontolku.
Memeknya sudah banjir dan membuat gesekan kami lancar. Bau tubuh ibu semerbak mewangi mengharumkan ruangan tamu kami. Aku mulai memaju-mundurkan kontolku dengan kencang. Ibu pun cuek saja bahkan ikut menggesekkan kelaminnya. Bibir memek ibu begitu basah, licin namun hangat, membuat aku merasakan nikmat tiada duanya.
Berhubung aku lebih pendek dari ibu, maka kepalaku tepat di atas dadanya sehingga akhirnya aku kembali mengenyoti buah dada ibuku. Ibupun seperti kesetanan dan tidak peduli lagi. Di pikiran kami berdua adalah kenikmatan surgawi yang sedang kami rasakan. Entah berapa lama tubuh ibu aku tindih, entah berapa menit terlewat saat aku mengenyot-ngenyot, menjilati dan menciumi seluruh payudara ibuku, entah pada dentang waktu keberapa kontolku menggeseki bibir memek ibuku, sehingga pada puncak asmara terlarang kami, aku orgasme kering dan ibuku kembali orgasme secara hampir bersamaan lagi.
Sekitar lima menit ibu baru melepaskan diri dari pelukanku untuk beranjak ke dapur. Ia hendak mengambil dasternya namun aku secara cepat berkata.
“Mending kalau ga ada orang lain, ibu pakai celana dalam saja dan ga usah pake apa-apa lagi.”
Ibu tetap mengambil daster itu, namun ia tidak memakainya melainkan menyampirkannya ke pundak lalu pergi ke dapur. Sementara aku tidak memakai celana. Aku pikir kalau aku telanjang bulat, tentu lebih gampang beraktifitas. Ibu menyiapkan makanan dan akhirnya kami makan bersama, dengan aku yang telanjang dan ibu yang hanya bercelana dalam.
Selesai kami makan. Aku jadi horny melihat ibu makan hanya dengan celana dalam. Ibu menatap kontolku yang sudah ngaceng.
“Ibu capek Ndra. Sisa hari ini ibu mau istirahat saja.”
Ibu tiduran di kasur dengan tubuh telentang. Aku yang sudah horny membuka kedua kaki ibu lebar-lebar. Aku tindih ibu, aku ciumi bibirnya. Tampaknya ibu lelah karena ia tidak membalas ciumanku dengan hot, hanya sekedarnya saja, maka lalu aku menetek. Ibu kali ini hanya menghelan nafas lalu memejamkan matanya.
Sepanjang kelas lima aku dapat menikmati tubuh ibu, walaupun ibu tetap memakai celana dalam. Tetapi, ibu selalu bertelanjang dada bila aku sudah pulang. Biasanya saat aku pulang ibu akan menutup semua jendela dan mengunci pintu, lalu menanggalkan dasternya. Aku akan membuka semua pakaianku dan bugil.
Ibu dengan langkah indahnya memasuki kamar di mana aku sedang buka baju, lalu tiduran di ranjang walaupun belum saatnya untuk tidur. Aku lalu akan menindih ibu yang biasanya sudah mengangkang, terkadang kami berciuman hot, lalu aku akan melakukan dry hump sambil menikmati kedua buah dada ibu sampai aku orgasme.
Bila sudah selesai, ibu akan melanjutkan aktifitasnya. Entah menonton TV, menjahit, membaca atau apapun itu. Sementara aku akan duduk atau tiduran di sampingnya sambil menciumi, menjilat dan mengenyot tubuh ibu, yang paling sering kulakukan adalah nenen ibuku. Kadang punggung, lengan, payudara, perut, bibir, pokoknya semua bagian tubuh ibu kecuali yang tertutup oleh celana dalamnya.
Bahkan, ketika aku buat PR, aku minta ibu untuk tiduran di kamar tidur, sementara aku akan membuat PR sambil menindih ibu dengan buku cetak kuberdirikan di hadapanku di samping kepala ibu ditopang bantal, sementara buku PR akan kutaruh di samping tubuh ibu, aku akan menulis PR sambil mengenyot-ngenyot pentil ibu, atau mengenyot gundukan payudaranya.
Pentil ibu sekarang bagaikan dot untukku yang harus sering menyumpal mulutku. Bila aku horny ketika sedang buat PR, maka aku tinggal menggenjot memek ibu yang memang selalu menempel dengan selangkanganku ketika aku buat PR. Terkadang ibu yang tiba-tiba menggoyang pantatnya, sehingga kami dry hump dulu, baru kemudian aku akan buat PR lagi.
Bila ibu cuci piring, aku akan di belakangnya dan mengelus-elus payudaranya. Entah aku horny atau tidak. Bagiku ibu adalah canduku. Aku tidak ingin meninggalkan tubuh indahnya barang sedikitpun. Aku akan terus nenen, menggerayangi, menciumi, menjilati, apapun itu aku harus selalu terhubung dengan tubuh ibuku.
Jadi, sampai kelas lima, aku akan terbangun dan langsung menciumi tubuh atas ibu yang hampir telanjang yang hanya ditutupi celana dalam, sampai aku tak tahan untuk menindih ibu lalu kugesekkan selangkangan ibu yang bercelana dalam dengan kontolku yang telanjang. Sesudah itu ibu akan bergegas ke dapur dan aku mandi.
Selesai mandi berhubung masih jam 5 an, maka aku akan ke dapur menciumi punggung ibu yang sedang sibuk. Tubuhnya pasti berkeringat di dapur sumpek kami. Setelah selesai memasak, aku bantu ibu membawa perkakas makan dan makanannya ke ruang tamu dan setelah semuanya ditata seadanya, ibu akan tiduran sambil ngengkang, dan aku segera menyedot-nyedot buah dada ibu sambil menggeseki selangkangannya lagi.
Pulangnya, aku akan french kiss ibu ketika sampai di rumah, lalu ibu akan menutup pintu dan jendela, lalu membuka dasternya, lalu tiduran di tempat tidur. Aku akan mencium bibir ibu dan kami akan french kiss beberapa saat sambil berpelukan. Setelah lima menitan, aku akan mulai menggesekkan kontolku di selangkangan ibu yang tertutup CD sampai aku atau terkadang kami orgasme.
Bangun tidur ibu akan beres-beres rumah, sementara bila saat itu aku bangun aku akan mengintil ibu untuk memeluk dan mencium ibu bila sempat. Sebelum nonton TV ibu telentang mengangkang menunggu aku melepaskan birahi terlebih dahulu, barulah ia menonton TV menyamping sementara aku walaupun sudah lemas, terus menggarap tubuh ibu dengan mulut dan lidahku.
Biasanya aku akan menindih ibu untuk sekali atau dua kali di sore hari itu. Lalu ibu akan mandi disusul aku yang mandi setelah ibu selesai. Dari sore sampai waktu ibu ke dapur untuk memanaskan masakan, aku akan mengintil ibu apapun yang ibu lakukan untuk dapat sekedar meremas teteknya, atau menciumi tubuhnya.
Setelah makan aku akan menindih ibu lagi, biasanya sangat cepat karena aku sudah horny dari tadi. Setelah itu aku harus belajar. Aku belajar di kamar sambil menciumi tubuh ibu. Kadang kuminta ibu telentang agar aku dapat menciumi buah dada dan perutnya, terkadang kuminta ibu telungkup agar aku dapat menikmati punggungnya.
Setelah itu kami akan tidur dengan aku menindih ibu lagi. Biasanya aku sudah lelah, tapi tetap bernafsu, namun nafsuku selalu perlahan naiknya. Sehingga hampir selalu ibu akan orgasme di malam itu. Terkadang aku terbangun malam-malam untuk kencing, dan biasanya aku akan menindih ibu lagi sampai aku puas.
Bila kami berdua hanya berbicara, tanganku akan berjalan meraba-raba tubuh ibu, terkadang meraba kedua payudaranya, sementara hidungku akan mengendusi ibu sambil berbicara. Terkadang aku menciumi bagian tubuh ibu yang paling dekat dengan wajahku. Aku bagaikan lintah yang menempeli ibuku terus. Ibuku adalah candu dan obsesiku.
Demikianlah kegiatanku selama kelas lima sebelum kami liburan panjang di kampung.
KELAS LIMA - DI KAMPUNG
Ketika kami pulang kampung, ibu mewanti-wanti bahwa kami tidak boleh melakukan aktivitas kami karena takut, aktivitas kami sudah sangat intim sehingga ibu hanya memakai CD dan aku telanjang bulat, bila ada yang tiba-tiba masuk kamar kami, kami tidak akan bisa mengelak lagi. Oleh karena itu ibu memilih tidur bersama nenek.
Malam pertama kami di sana, bibiku dan aku hanya berciuman sebentar. Mbak Ela mengingatkan bahwa ibuku belum tidur, katanya.
“Hussh… Mbak Mila belum tidur, Ndra. Kalau kamu mau melanjutkan pacaran kayak tahun lalu, lebih baik menunggu lebih malam lagi. Jam sebelas atau dua belas.”
Maka kami saling memunggungi lalu pura-pura tidur. Ternyata benar, ibu mengechek keadaan kami tak lama kemudian. Sambil menunggu aku tertidur. Jam dua belas Mbak Ela membangunkan aku. Tahu-tahu dia sudah menindihku sambil menciumi mukaku.
“ibu gimana?” tanyaku disela-sela ciumannya.
“Mbak Ela sudah check. Ibu dan Mbak Mila sudah tidur kok…”
Kami saling memagut. Aku pegang kepalanya dan aku julurkan lidahku. Pertama-tama Mbak Ela tampak bingung, namun akhirnya ia mengikuti juga. Akhirnya lidah kami saling membentur dan bibir kami saling mengecup. Dalam kamar yang memiliki lampu agak remang, situasinya begitu erotis. Apalagi bau tubuh Mbak Ela juga tercium samar di hidungku.
Aku beringsut duduk dan melepaskan ciuman. Mbak Ela tampak heran. Kami duduk berhadapan. Aku pegang ujung bawah baju Mbak Ela dan aku tarik ke atas.
“Ndraaaa…” bisik Mbak Ela lirih. Tapi aku cuek saja dan terus menarik bajunya ke atas. Mbak Ela akhirnya menurut dan mengangkat kedua tangannya. Kulempar baju itu secara asal. Kubuka bajuku sambil melihat Mbak Ela yang tampak seksi dengan tubuh ramping dan BH remajanya. Aku peluk Mbak Ela dan mencium bibirnya lagi.
“Ndraaaa…?” bisik Mbak Ela lagi. Aku lepas pelukan dan menarik bhnya sehingga lepas sehingga kedua payudara remajanya yang bulat seukuran bakpao namun memiliki bulatan yang sedikit lebih besar, dengan pentil yang terpendam di areolanya yang mungil berwarna coklat muda terlihat. Mbak Ela menggerakan tangannya untuk menutupi buah dadanya namun aku tahan kedua tangannya dengan kedua tanganku.
Kuciumi dadanya yang muda itu perlahan-lahan, terasa otot payudaranya lebih kencang daripada ibu namun tidak selembut tetek ibuku. Mbak Ela mendesah lirih dan memelukku. Seluruh bagian payudara indah itu aku cium dan mulai aku cupangi. Desahan Mbak Ela makin terdengar jelas sehingga aku harus meminta dia untuk jangan berisik sebelum aku sedot putingya yang belum keluar itu.
Dengan susah payah Mbak Ela menutup mulut dan menahan suara yang keluar ketika dirasanya pentilnya disapu oleh lidahku dan mulai dihisap-hisap oleh mulutku. Mbak Ela merasakan sensasi yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Seluruh tubuhnya bagai disetrum, dan memeknya menjadi basah kuyup dan serasa gatel minta digaruk.
Ketika Ela menekan selangkanganku dengan selangkangannya yang hanya berbungkus CD (roknya setinggi atas lutut, sehingga kedua kakinya bebas bergerak), Ela menemukan bahwa aku sudah membuka celananya sehingga sekarang kedua kelamin kami hanya dibatasi celana dalam milik Ela saja. Entah kenapa Ela menjadi makin horny dan mulai menggeseki kelamin telanjang keponakannya itu.
Aku merangkul dan menarik Ela sehingga tubuh Ela condong ke depan dan tiba-tiba pentil tetek kanan Ela dikenyoti lagi olehku. Sensasi seksual yang dirasakan Ela terlalu banyak sehingga tak lama Ela orgasme dan menekan keras-keras memeknya ke kontolku untuk tak lama kemudian lemas dan menindih tubuhku.
Aku terkejut melihat ibun sedang menyibakkan kain di pintu dan menatapku. Lalu ibuku memegang memeknya sendiri dan menggeleng-geleng. Aku mengerti bahwa memek bibiku itu tak boleh ia masuki. Maka sambil melihat ibuku, aku menaruh batang kontolku sepanjang bibir memek bibiku itu yang masih tertutup CD, lalu mulai menggesekinya.
Mbak Ela tak sadar bahwa kakaknya ada di pintu dan berkomunikasi dengan keponakannya. Matanya terpejam. Hanya ketika aku menindihnya dan menggeseki memeknya di luar CD, Ela membuka mata dan melihat wajah keponakannya ini sudah dekat sekali dengan wajahnya. Ela menyambut bibirku dengan antusias, dan kami mulai berpelukan erat sambil menggesekkan kelamin.
Di kampung itu, kini Aku hanya berduaan dengan Mbak Ela saja kemanapun kami pergi. Dan biasanya, kami berdua akan ke sungai, ke tempat favorit di mana tidak ada orang yang bisa melihat. Aku akan telanjang dan Mbak Ela akan bercelana dalam saja. Kami akan bercumbu seharian penuh, hanya pulang bila lapar.
…
KELAS ENAM - Bagian Satu
Mulai kelas enam, aku sudah bertambah tinggi dan kontolku yang tiap hari kugesek di selangkangan ibu dan yang liburan kemarin kugesek juga di selangkangan Mbak Ela, juga semakin panjang. Bila kelas lima panjangku 10 senti, di kelas enam sudah sepanjang 13 senti. Aku juga sudah mulai ingin merasakan gesekan dengan ibu tanpa dihalangi apapun.
Lama kelamaan aku sudah terbiasa menghirup aroma kotoran ibu. Pada pertamanya aku jijik, tapi demi melihat memek ibu aku tahan saja. Tapi kini tahi ibu bagiku biasa saja. Anggap saja aku sendiri buang hajat, kan bau juga, namun tidak terlalu dipikirkan.
Aku ingat kali pertama aku ikut ibu waktu ibu buang air besar. Hari itu adalah hari senin dan sudah sore, seperti biasa, ketika itu kami tidur siang dan sudah melakukan kegiatan gesek menggesek kami sampai aku tidur. Kemudian aku duluan yang bangun dan mulai nenen. Ibu tak lama bangun. Aku menindih ibu dan kami berciuman cukup lama dengan lidah yang saling berkelahi.
Kami saling mengecup, menjilat dan menyedot lidah satu sama lain. Tak lama aku mulai menggoyang selangkangan ibu dengan selangkanganku sampai kami berdua orgasme. Setelah itu, seperti biasa kami akan tiduran untuk beberapa waktu. Biasanya antara sepuluh sampai lima belas menit dengan aku yang kembali asyik menciumi tubuh ibu sampai ibu bangun untuk ke dapur.
Saat itu ibu ke dapur dan aku ikut. Aku peluk pinggangnya. Ibu merangkul pundakku. Ibu di kanan dan aku di sebelah kiri. Saat itu kepalaku sudah mencapai dagunya. Ibu sedang mengupas bawang di dapur dengan duduk di dingklik, dan aku di dingklik yang satu lagi. Kami punya dingklik, berhubung itu kemauanku.
“tar dulu, Ndra. Ibu mau berak.”
Aku yang sudah merencanakan hal ini berkata, “tanggung bu. Lagi seru nih,” sambil merangkul pinggang ibu dan mencium punggungnya. Ibu bergegas ke kamar mandi, tapi aku terus menempel. Ketika sudah masuk kamar mandi ibu berkata.
“nanti aja ya. Ibu kebelet nih.”
“ga mau. Biar aja. Hendra mau cium ibu.”
Ibu menahan sakit perutnya sebentar untuk akhirnya berkata.
“terserah kamu, nanti kebauan.” lalu ibu bergegas ke depan toilet, membuka celana dalamnya sampai lutut lalu duduk. Aku dapat melihat memek ibu sekarang. Memek ibu itu dihiasi bulu jembut yang lebat. Namun kedua bibir memek ibu yang tebal masih dapat terlihat. Dua bibir vagina ibu itu rapat sekali sehingga aku tak dapat melihat lubang kencingnya.
“Sukurin!” kata ibu sambil tertawa. Wajah ibu begitu cantik di mataku. Aku menjadi lupa bau tak sedap di kamar mandi kami lalu aku menghampiri ibu yang duduk di toilet lalu menundukan wajahku untuk kemudian mengecup bibir ibu. Sambil terkadang diiringi suara tahi keluar dari anus ibu, kami berdua asyik berciuman.
Lidah kami menari-nari. Tampaknya ibu menyukai hal ini, buktinya ia membalas ciumanku dengan liar dan penuh nafsu. Ia menarikku dengan keras, sambil berciuman dengan seru, tubuhku merapat ke samping tubuhnya. Tahu-tahu batangku yang menegang maksimal itu di pegang tangan kiri ibu, dan beliau mengocok-ngocok batangku.
Tangan kanan ibu disusupkan ke selangkangannya dan ibu sambil mengusap-usap klitorisnya sendiri, ia juga mengocok kemaluanku dengan buas. Lidah ibu kadang terjulur keluar menyerobot masuk mulutku dan aku akan membalas dengan menghisap-hisap lidahnya yang basah. Makin lama kocokan ibu makin keras, tangan kanan ibu pun makin cepat mengusap klitorisnya.
Saking kerasnya kocokan ibu, kontolku menjadi ngilu dan sedikit sakit, namun aku malah menyukai kebrutalan ibuku itu. Sambil menyedot-nyedot lidah, bibir dan mulutnya aku semakin dekat ke puncak. Tiba-tiba ibu melepaskan ciuman dan menyedot leherku kuat-kuat, aku merasakan geli dan nikmat yang tiada taranya sehingga aku orgasme kering, sementara tangan kiri ibu yang mengocokku terdiam namun tetap menggenggam keras, dan terdengar suara erangan ibu yang tertutup kulitku yang sedang dicupangnya.
Setelah beberapa saat kami lemas, ibu melepas tangannya dan cupangannya dan menyender di toilet. Kami basah kuyup keringetan. Walaupun burungku sudah lemas, aku melihat tubuh putih ibu yang mengkilat, tidak mau ketinggalan untuk menjilati dada dan bahunya untuk merasakan keringat wanita yang mengandungku itu.
Mulai saat itu aku mengikuti ibu ketika buang air kecil atau besar. Aku ingin juga mandi bersama ibu, namun aku pikir agar menahan diri dulu. Jangan sampai nanti ibu malah menolakku. Aku biarkan ibu terbiasa dulu dengan kehadiranku di toilet kala ia sedang buang air. Maka semenjak saat itu, aku selalu merangkul ibu kalau ada kesempatan.
Di kelas enam itu, kontolku sudah terlatih apalagi selama beberapa bulan makin panjang pula kontolku sehingga kini sudah 15 senti, yang aku banggakan, pernah di sekolah waktu aku dan kawan-kawanku membandingkan kontol, kontolku yang terpanjang dan terbesar, bahkan ada temanku bilang bahwa kontol bapaknya saja tidak sebesar kontolku.
Kini hampir disetiap saat aku menindih ibu dan menggesekinya, ibu akan orgasme. Mulai kelas enam inilah, kami lebih sering berciuman. Ibu sudah tidak menonton TV lagi. Bila semua pekerjaan kami selesai, maka kami akan berpelukan di kamar dan berciuman hingga kami berdua tidak tahan dan mulai menggesek-gesek kelamin kami.
Hari minggu, ibu tidak akan masak, melainkan membeli makanan dari luar. Berhubung aku sudah tidak pernah minta jajan lagi, ibu dapat menggunakan uang itu untuk membeli makanan. Ibu membeli makanan ketika pagi untuk sarapan dan siang untuk makan siang dan makan malam.
Setiap hari minggu ibu tidak akan melakukan pekerjaan rumah seperti mencuci baju atau menyetrika atau menyapu atau mengepel. Sepanjang hari, kecuali ketika membeli makanan, ibu akan berpelukan dan berciuman denganku. Kami bagaikan pengantin baru. Ibu kularang mandi, sementara aku sendiri mandi, karena aku suka bau tubuh ibu tapi aku tidak menyukai bau tubuhku sendiri.
Sekujur tubuh ibu akan kujilati dari rambut sampai ujung kaki. Namun hanya selangkangannya saja yang kulewati. Pernah aku cium memeknya yang masih terhalang celana dalam, namun ibu tahu-tahu mendorong kepalaku dan mengatakan bahwa ia tidak mau. Walaupun aku merengek, ibu tidak bergeming, bahkan mengancam akan menghentikan kegiatan kami dan aku harus tidur sendiri di ruang tamu bila aku tetap bersikeras.
Suatu ketika di kelas enam, saat awal dari semester terakhirku di SD, aku sedang asyik berciuman dengan ibu kala ibu berak. Saat itu kami baru saja makan malam. Saat ibu hendak cebok, ia melepaskan ciumannya, aku lalu berkata.
“Hendra cebokin ya, Bu?”
Ibu menatapku lalu mengangguk enggan. Aku ambil selang air untuk cebok, lalu aku lumuri tanganku dengan sabun, dengan tangan kanan memegang selang air, aku siram pantat ibu dari depan, sementara tangan kiriku menyusup dari belakang untuk mengusap anusnya. Ibu memegang pundakku dengan tangan kanannya.
Ibu mencium bibirku ketika aku asyik mengusapi memek dan pantatnya. Ia mendorongku perlahan sehingga akhirnya kami berciuman dengan aku duduk di pinggir bak mandi, sementara ibu menunduk dengan kaki kiri diangkat menginjak pinggiran bak mandi. Kulempar selang air itu, lalu tangan kananku mulai menggosok memek ibu sementara yang kiri tetap mengusap pantat ibu.
Dalam satu kesempatan, aku tusukkan jari tengahku yang bersabun itu ke lubang anus ibu. Lubangnya sempit sekali. Ibu terkaget dan menegakkan tubuh hingga teteknya sejajar wajahku. Kulahap teteknya sambil tangan kananku menggosok memeknya dan jari manis kiriku mulai kumaju mundurkan di lubang anusnya.
Oh nikmatnya. Ibu dry hump kontolku yang kini basah oleh cairan tubuhnya, sementara anus ibu kurojok-rojok dengan cepat menggunakan jari manisku. Gerakan ibu makin hebat saja untuk kemudian ibu mulai mengerang dan mengalami orgasme. Aku belum, karena posisi yang aneh bagiku. Aku bergegas turun dari bak mandi, sementara jari manis kiriku masih di anus ibu.
Aku bergerak ke belakang ibu dan terus mengocok anusnya. Ibu kini menopang tubuh atasnya dengan kedua tangan di bak mandi membuat dia menungging dengan kaki membuka lebar. Ibu masih mengerang-ngerang, tampaknya baru kali ini ia merasakan sensasi anus dipenetrasi sehingga ia masih menikmati walau sudah orgasme.
Aku dari dulu ingin menjilat memek ibu, tapi ibu selalu pakai celana dalam. Setiap aku mau buka ia akan marah. Tapi sekarang lain. Teknikku ikut ibu masuk kamar mandi ternyata berhasil. Aku memang selalu mencari celah agar bisa meningkatkan level hubungan terlarang kami. Dan inilah saatnya. Saat lidahku menyapu klitoris ibu, ia menjerit sambil meremas rambutku dengan satu tangan, “Jangan dijilaaat…
Tapi lidahku secara liar sudah menjilati kelentit ibu yang menonjol. Tubuh ibu menggelinjang tak terkendali. Aku putar-putar lidahku di kelentiti ibu itu dan suara ibu makain meninggi.
“Jangaaaaannnnn… Jorooooookkkk, Ndraaaa… Jangaaaannnnnnnn!”
Tapi kedua tangan ibu kini mendekap kepalaku erat-erat sehingga mulutku makin tertekan di selangkangan ibu. Memek ibu maju mundur dan terkadang memutar karena digoyang oleh ibu yang sedang diliputi oleh nafsu. Suatu saat, aku hisap pelan klitoris ibu dan tiba-tiba ibu berteriak histeris sambil mempererat pegangannya kepada kepalaku dengan kedua tangannya.
“SEDOT TERUS MEMEK IBUMUUUUUUUU! ISEP! SEDOT! KENYOT! ISEP YANG KERAAAASSSS…”
Ibu mengentoti bibirku yang menjepit klitorisnya dengan penuh nafsu. Bau memek ibu adalah satu-satunya aroma yang kucium saat itu. Hampir saja aku tak bernafas, namun akhirnya ibu yang sudah lemas menggelesor ke samping tubuhku dan berbaring telanjang bulat di lantai. Aku bergerak cepat, aku buka kedua kaki ibu dan aku mendekatkan kontolku di lubangnya, tapi tiba-tiba ibu menggengam kontolku.
“Hendra! Jangan!” ibuku melotot dengan wajah marah. Aku jadi kaget dan takut. Tapi aku sudah mengantisipasi ini dan berkata, dengan suara yang aku buat senormal mungkin.
“Hendra cuma mau gesek kayak biasa. Masa ga boleh?”
Ibu tampak berpikir sebentar, untuk kemudian menarik kontolku sehingga kini batang kontolku berbaring menindih bibir memek ibu. Ibu memegang pantatku, tampaknya ia menjaga agar aku tidak berusaha menarik pantatku untuk menyejajarkan palkonku di memeknya.
“ya udah, gesek aja, ya…”
Sambil menyedot-nyedot puting kanan ibu, aku mulai menggesek memek ibu dengan batang kontolku naik turun. Sungguh berbeda dengan sensasi bila tertutup celana dalam. Memek ibu yang licin dan hangat itu terasa begitu lembut dan basah di batangku. Berhubung aku sempat terkejut, kontolku tadi sempat melemas sedikit, sehingga perlu beberapa menit untuk membuatnya keras kembali.
Aku cupang payudara kanan ibu di bagian sebelah dalam, di dekat belahan dadanya. Aku kenyot payudara itu kuat-kuat, sementara ibu kali ini tidak protes tetapi mendekap kepalaku dengan tangan kanannya, tangan kiri ibu tetap menekan pantat kananku. Ibu bergerak ke atas untuk duduk, sehingga posisi kami kini duduk di lantai kamar mandi.
Kedua kakiku menjulur ke depan, kedua kaki ibu membentuk segitiga di atas kedua kakiku, dengan kelamin kami masih menggesek. Kedua tangan ibu mendekap kepalaku, ia menunduk dan kami berdua berciuman dengan penuh nafsu. Kami mencampurkan ludah kami di kedua mulut kami sementara keringat kami juga sudah bergabung menjadi satu adonan dan talenannya adalah kedua tubuh telanjang kami yang berpelukan erat-erat.
Ibu menarik kepalaku sehingga ciuman kami terlepas.
“buka mulutmu anakku sayang…” kata ibu.
Aku membuka mulut dan ibu perlahan mengeluarkan ludahnya yang kental ke dalam mulutku. Ketika air liur ibu menyentuh lidahku aku mengemut ludah itu dan meminumnya.
“anak yang otaknya kotor seperti kamu harus diludahi. Buka terus,” kata ibu yang lalu mengumpulkan ludahnya lagi dan memasukkan ludah itu kembali ke mulutku. Aku dengan senang hati menerima ludah ibu, sementara pantatku makin kugoyang dengan cepat karena birahiku menjadi maksimal oleh perlakuan mesum ibuku.
Ibu tampaknya terbawa dengan permainanku. Ia juga secara liar menggoyang pantatnya. Kedua mulut kami sudah basah oleh liur ibu yang banyak itu. Bahkan liur ibu sampai menetes jatuh ke dada kami yang berhimpitan keras itu. Kami saat itu memeluk satu sama lain demikian kerasnya seakan bila mampu, ingin menjadikan kedua tubuh kami itu menyatu.
“Hendraaaaa…” ibuku memelukku sementara tubuh ibuku mengejan beberapa kali. Kala orgasme telah lewat, tubuh kami yang lemas berbaring di lantai kamar mandi beberapa saat.
Aku melarang ibu mandi, sementara aku sendiri mandi dan ibu keluar kamar mandi untuk mengeringkan keringatnya. Selesai mandi, aku mendapati ibu telah memakai celana dalamnya. Aku protes dan bersikeras agar ibu telanjang bulat saja.
“Enak aja…” kata ibu manja sambil meleletkan lidahnya untuk mengejekku. Saat itu ia sedang menonton TV sambil tidur menyamping. Aku duduk di dekat kakinya. Aku tarik kakinya hingga ibu mengangkang. Seperti penuturanku sebelumnya, ini memang sudah menjadi kebiasaan kami. Namun, bukannya menindih ibu, aku menarik celana dalamnya.
“Ih! Kok maksa?!” tanya ibu dengan muka cemberut. Tapi raut wajahnya tidak menunjukkan kemarahannya bahkan ia mengangkat pantatnya agar memudahkanku melepas celana dalamnya.
Aku lempar celana itu jauh-jauh. Lalu aku mendekat memek ibu. Baru kali ini diterangi lampu terang kamar tamu, aku melihat bentuk memek ibuku. Sebelumnya selain aku terburu-buru karena nafsu, lampu di kamar mandipun tidak begitu terang, sehingga aku hanya dapat melihat lipatan bibir ibu dan kelentitnya namun aku belum dapat melihat dengan jelas bagaimana detil dari bentuk vagina ibuku itu.
Bulu-bulu kemaluan ibu begitu keriting dan lebat, namun bibir memek ibu yang tembam tampak rapat. Aku buka bibir luar vagina ibu itu dan melihat bibir dalam ibu yang mungil, membuka juga. Warna meki ibuku itu merah muda. Bau tubuh ibu memancar kuat dari situ. Aku dapat melihat kelentit ibu bagaikan mahkota di bagian atas memeknya, sementara, dapat kulihat juga lubang kencing ibu tampak kecil.
“Kecil amat lubang ibu?” tanyaku.
“Ibu kan melahirkan cesar, Ndra… Makanya lubangnya kecil.”
“Kayak orang gedongan aja, Bu. Pake cesar segala.”
“Dulu bapakmu itu supir di Bank pemerintah. Dapat asuransi. Jadi bisa bayar cesar.”
Aku hanya mengangguk-angguk saja, karena aku sedang mengagumi kemaluan ibuku itu. Bila dilihat dari ukurannya, kontolku ga akan muat masuk situ. Maka aku elus perlahan kelentit ibu. Ibu mendesah-desah. Kulihat perlahan memeknya mulai mengeluarkan cairan bening.
“Bu, apakah kontol bapak kecil?”
“Husshh.. Sembarangan! Jangan kurang ajar. Barang bapakmu ya gedhe, Ndra…”
“Masa sih? Kok lobang ibu kecil gitu? Pasti kalau Hendra masukkin ga bakalan bisa.”
“Hussshhhh… Masa punya kamu dimasukkin ke ibu? Ga boleh, Ndra… Dosa! Lagian, ukuran kamu itu memang lebih besar dari bapakmu.”
“masa? Emang panjangnya seberapa bu?”
“palingan sekitar 12 senti. Tapi agak gemuk.”
“gemukkan mana sama Hendra, bu?”
“gemukkan kamu juga sih…”
“Itu artinya burung Hendra ga bisa masuk ya?”
“kalau masuk sih bisa aja, Ndra… Lubangnya perempuan itu bisa membesar sesuai dengan bentuk burung yang masuk.”
“Ah, ibu bohong! Ga mungkin!”
“kamu itu dibilangin orang tua ga percaya…”
Memek ibu semakin basah, sementara nafas ibu mulai berat. Kataku lagi.
“Ibu pasti bohong. Hendra yakin kalau Hendra masukkin ke situ, lubang ibu ga mampu menampung burung Hendra..”
“Ahhhhh… Kamu itu keras kepala… Pasti bisa masuk!” ibu mulai mendesah pelan. Aku tetap mengusap kelentitnya sambil berbicara.
“Beneran bu? Gimana kalau kita test aja?”
“Maksud kamu? Sssshhhh…” desahan ibu mulai meninggi.
“kita test saja. Kalau Hendra bisa masukkin, artinya ibu menang. Kalo enggak, artinya Hendra yang menang.”
“apaaaahhhh???? Maaahhh maaahsuuukkkinn? Ga boleeehhhh…”
“Tuh kan. Pasti ga bisa masuk. Ibu aja yang bohong. Ga mungkin lubang kecil ibu bisa menampung burung Hendra yang besar…”
“kamuuhhh… Kamuhhh yang sok tahu… Ssshhhhh…”
Memek ibu sudah basah kuyup, ibu menggelinjang erotis mengikuti usapan jariku. Ingin rasanya aku mengentoti ibu saat itu juga, namun aku mengurungkan niat itu, karena bila saat itu aku mampu mengentoti ibu, ada kemungkinan bahwa setelah kami ngewe, ibu akan merasa bersalah dan berdosa, sehingga bisa saja dia akan memutuskan untuk menghentikan kegiatan tabu kami.
Perlahan aku mengeluarkan lidahku dan mulai menyusuri memek ibu yang merekah dari bagian bawahnya. Kedua jari tanganku tetap membuka memek ibu yang mengeluarkan bau khas wanita dewasa.
“Oooohhhh… Pelan-pelan sayaaaaaang…” kata ibu ketika lidahku perlahan menyapu lubang kecil memeknya. Baru kali ini ibu menyebut aku sayang dengan suara yang manja dan mesra yang menyebabkan aku merasa bangga, bahagia dan berbunga-bunga. Saat itu aku berjanji untuk selalu memuaskan ibuku bagaimana pun juga, karena ibuku adalah wanitaku yang adalah segalanya bagiku.
Perlahan, seperti keinginan cintaku, aku tusuk lidahku ke dalam lubang kecilnya hingga mulutku mentok di kemaluan ibu dan lidahku tak mampu melesak ke dalam lagi. Ibu mengerang-ngerang sambil menyebut namaku dan menyebut sayang kepadaku berkali-kali. Memek ibu membuka menutup seakan ingin menjepit lidahku sementara cairan vagina ibu mulai merembes keluar.
Perlahan aku melengkungkan lidahku di dalam memek ibu sambil menarik lidahku ke luar lubang mekinya yang mungil itu.
“Aaaahhhhh… Hendraaaaa… Enak sayaaaanggg…” kata ibuku ketika merasakan lidahku yang melengkung itu menggesek dinding dalam bagian atas lubang kencingnya itu. Kedua tangan ibu menekap kepalaku erat-erat.
Ketika lidahku telah keluar, dengan suara agak serak aku bertanya.
“Enak rasanya, cintaku?”
Ibu menatapku dengan pandangan sayu dan penuh birahi dan menjawab, “enak banget sayangku…”
“Mau lagi cinta?”
“Mau dong sayaangg…”
“Mau diapain cinta?”
“Mau dijilatin lagi..”
“jilatin apanya cintaku?”
“Jilatin Memekku sayaaangg…”
“Hendra mau jilatin lagi, tapi ini bukan memeknya cinta ya… Ini memek miliknya Hendra…”
“Iya sayaaangkuuu… Jilatin memekmu lagi dooong…”
Kembali aku mulai menusukkan lidahku lagi di dalam vagina ibuku, ibu kembali mengerang dan kini selalu menyebutku dengan kata ‘sayang’ dan jarang sekali menyebut namaku. Lidahku merojoki liang surgawi milik ibu dan merasakan dinding kemaluannya ketika aku tarik lidahku yang kubuat melengkung. Berkali-kali aku menelan cairan memek ibu ketika kurasakan cairannya sudah banyak di mulutku.
Mulut dan daguku kini sudah belepotan air pelumas ibu sehingga sudah berbau vagina ibu. Sekali kucoba ketika lidahku melengkung, aku tidak tarik keluar tapi aku gesekkan ke kiri kanan di dinding atas lubang kencing ibu. Ibu mulai berteriak keenakkan dan memek ibu kini sudah banjir dengan cairan kewanitaannya.
“Saaayangkuuuuuuu… Pinter banget kamuuuuhhhhh… Terus yaaangg… Yaaannngg…”
Makin lama lidahku makin cepat menari di lubang kencing ibu, sementara ibu makin menggila dan tubuhnya mulai meliuk-liuk bagaikan cacing kepanasan. Keringatnya sudah membanjir dan memeknya bermandikan cairan kewanitaan yang menghembuskan bau yang memabukkan. Menjadi gemas, aku menghisap memek ibu. Bagaikan orang kesetanan, ibu menekan kepalaku dengan kedua tangannya dan mulai mengentoti mulutku dengan menggoyang pantatnya memutar-mutar dan maju mundur membuatku hampir tak bisa bernafas.
Kuarahkan mulutku ke klitori ibu dan aku segera mengenyoti kelentit ibu itu, sementara jari tengah kananku aku tusukkan ke dalam lubang kencingnya dan kukorek-korek vagina ibu dengan jari itu. Ibu makin buas menggoyangkan pantatnya, seakan-akan ia ingin menghancurkan wajahku dengan selangkangannya.
“teruuuuss… Kobok memek ibu, yaaang… Isepin itil ibu… Ibu sebentar lagi sampeeeeeee…”
Sekitar dua menit kemudian, kurasakan tubuh ibuku mengejang, selangkangan ibu bagaikan menggigil pelan dan ibu berteriak.
“Ibu sampeeeeeeee…”
Kemudian kedua tangan ibu terlepas dari kepalaku, tubuhnya yang telanjang dan lemas terkulai, dan ibu merebahkan diri dengan kedua kaki masih mengangkangi kepalaku.
Perlahan aku menindih ibu, lalu menaruh kontolku di atas lipatan memeknya yang tembam. Kutaruh kepalaku di payudara kanan ibu yang bersinar karena keringatnya dan sambil menciumi buah dadanya itu, aku mulai menggeseki memek ibu. Dengan lemas ibu hanya memeluk leherku. Kontolku yang sudah tegang dari tadi tak bertahan lama.
Hanya beberapa menit yang singkat, aku mengalami orgasme kering lagi akibat berbagai sensasi yang kurasakan yang membuat nafsuku tak dapat ditahan lagi. Sensasi bibir memek ibu yang hangat dan basah yang bergesekkan dengan kontolku, sensasi kulit tubuh ibu yang halus dan licin karena banjir keringat yang menempel di kulitku, dan sensasi dua buah dada ibu yang kuremasi dan kuselomoti dengan mulut dan lidahku.
Semenjak saat itu, hubungan kami kembali berubah. Kini ibu akan telanjang bulat bila di rumah. Aku sudah selangkah lagi untuk dapat menggagahi ibu. Dan, aku tahu sebenarnya ibu sendiri sebenarnya mengetahui hal ini, hanya saja ibu masih enggan untuk melanjutkan hubungan kami ke tingkat yang paling intim.
Selama minggu itu, aku berusaha perlahan membuat ibu dipenuhi kenikmatan birahi sepanjang hari. Aku selalu menjilati memek ibu sebelum aku menggeseki kelaminnya yang telanjang dengan kontolku. Pulang sekolah, ibu yang memakai daster akan menyambutku. Kami french kiss di belakang pintu. Sementara ibu mengunci pintu aku akan melepaskan semua pakaianku dan ibu kemudian akan telanjang bulat dan merebahkan diri di tempat tidur.
Setelah kami berciuman hot dan aku meraba-raba tubuh ibu selama beberapa menit, aku kemudian akan mencium dan menjilati sekujur payudara ibu sambil tanganku mengusapi memeknya. Setelah memeknya basah, aku akan mengoral vagina ibu sampai ibu orgasme. Barulah kemudian aku akan menindih ibu sambil menggagahi payudara, leher dan ketiak ibu dengan mulut dan lidahku hingga aku orgasme kering.
Dari ketika aku terbangun sore, aku selalu menempel pada ibu. Bila ibu di dapur atau di kamar tamu atau bahkan ketika masih tertidur di kamar tidur, aku akan selalu menciumi tubuhnya, mengoral vaginanya dan menggesekkan kontolku di kelaminnya. Ibu akan membasuh kedua badan kami hingga bersih untuk kemudian melanjutkan aktivitas lagi.
Aku akan terus menempelnya dan menciumi dan menggerepe tubuh telanjang ibu sampai aku horny, dan aku akan mengulang proses mengoral ibu dan menggeseki kelamin kami. Aku hitung-hitung, dari semenjak aku bangun pagi sampai kami tidur malam, minimal 7 kali aku akan menggeseki kelaminnya. Minimal. Tetapi, ibu sendiri terkadang minta untuk tidak dioral.
Pada hari keempat ketika aku baru bangun tidur, ibu belum bangun sehingga aku mulai asyik menciumi, menjilati dan mencupangi tubuh ibu. Ibu bangun tak lama kemudian, ketika aku mulai ingin mengarahkan kepalaku ke memeknya, ibu berkata.
“Langsung gesekin aja, Yang. Tapi jangan di sini. Di tempat cuci piring aja. Ibu lupa cuci piring sebelum kamu pulang tadi.”
“Oke cinta.”
Ibu mencium bibirku dan kami french kiss beberapa saat sebelum ia beranjak ke tempat cuci piring di belakang rumah. Walaupun kami mengontrak, bagian belakang kami diberikan dinding pemisah dari beton, dan di kiri kanan kami ditutupi dengan spanduk bekas sehingga tetangga tidak bisa melihat ke halaman belakang kami.
Ibu mulai mencuci piring dan aku memposisikan diri di belakangnya. Berhubung aku lebih pendek, maka susah sekali mensejajarkan kontolku dengan memek ibu. Tetapi pada hari kedua yang lalu, ketika ibu juga minta langsung digesek di tempat cuci piring, aku mendapatkan ide brilian. Di depan rumah ada dipan panjang tempat orang bisa duduk atau tiduran.
Dipan itu aku ambil lalu aku posisikan di belakang ibu, bila aku berlutut di situ, aku akan sejajar dengan ibu, sehingga dengan mudah aku dapat menggesekkan kelaminku dari situ. Ibu waktu itu tertawa, dia sebenarnya berniat untuk membuat aku sulit menggeseki kelaminnya, sehingga sebenarnya niatnya adalah untuk membuat aku frustasi, ternyata dia kalah pintar dengan anaknya.
Setelah dipan ku taruh dengan baik. Aku berlutut di belakang ibu di atas dipan, dan kontolku kutaruh menekan memek ibu dari bawah. Sambil meremasi kedua payudara kenal ibuku dan menciumi dan menjilati punggung putihnya, aku mulai menggeseki kelaminku di kelamin ibu yang ternyata sudah basah karena aktivitas sebelumnya di kamar tidur.
Sudah empat hari aku menggeseki kelamin ibu, sehingga tidak ada rasa canggung lagi. Ini menyebabkan aku langsung tancap gas dan menggeseki bibir kemaluan ibu dengan semangat dan cepat. Kedua tanganku selain meremas kedua tetek ibu, terkadang mengelusi tubuh ibu. Kadang aku meremasi bokongnya, kadang memegang pinggul ibu sehingga tampak sedang mengentoti ibu dari belakang.
Ketika aku sedang menjilati tubuh ibu dari tengah punggung ke atas, kontolku yang sedari tadi asyik menggeseki kemaluan ibu, entah bagaimana tahu-tahu mencolok kemaluan ibu sekejap, namun karena kuatnya dorongan pantatku, kepala kontolku mencelat keluar dan kembali menggeseki kemaluan ibu. Ibu kaget dan berkata.
“Sayang… Hampir masuk tau…”
“Kan enggak masuk, cuma hampir doang…” kataku yang sedang terhanyut dalam nikmatnya gesekan kelamin kami.
“Awas… Hati-hati…” kata ibuku pelan.
Kembali aku menggeseki kelamin ibu sambil menjelajahi punggungnya yang indah. Entah beberapa menit berlalu, tahu-tahu kembali kepala kontolku menancap sekejap di lubang memek ibu. Berhubung lubang memek ibu itu sempit dan kepala kontolku lebih besar dari lubang itu, maka kembali kepala kontolku melejit dan menggeseki lagi bibir memek ibu.
“Tuh kan… Hampir masuk lagi…”
“Tapi kan enggak, cinta… Lubang memek ibu kan kecil, ga bakalan bisa kontol Hendra masuk…”
“Bisa lagi…”
Kuulangi lagi gerakan itu.
“Tuh kan ga bisa…” kataku sambil tertawa.
“Bisa aja kalau ga hati-hati…”
“Enggak bakalan cintaku…”
Kali ini aku ulangi terus gerakan itu. Kontolku menancap sejenak untuk kemudian mencelat keluar lagi setiap kali aku hujamkan kontolku ke atas.
“Enggak bisa kan? Kecil sih memeknya cintaku…”
Kini kontolku selalu menowel-nowel lubang ibu yang kini banjir walaupun tidak bisa ditembus. Ibu menghentikan cuci piringnya lalu menahan tubuhnya di bak cuci piring dan mulai ikut menggoyang pantatnya maju mundur seirama dengan goyangan pantatku. Berhubung kepala kontolku menancap namun dengan posisi hanya bagian atas, tidak seluruh pala kontolku yang menancap, maka kontolku selalu melejit keluar.
Ketika aku menggeseki lagi kelamin kami di kamar tamu setelah kami berdua makan malam hari itu, aku menggeseki kelaminnya dengan menowel-nowel lubang kencing ibu tanpa ada protes lagi dari ibu. Sekarang, sedikit lagi maka impianku selama ini akan terwujud.
Masuk minggu kedua, ibu yang malah sering mengajakku ke tempat cuci piring untuk menggesek kelamin di sana, tampaknya ibu sangat menikmati rasa kontol menowel lubang kelaminnya, ia merasa was-was namun sangat menyenangkan. Nafsu birahi dengan bahaya tabu seperti ini ternyata adalah suatu perasaan yang membuat ibu kecanduan juga.
Kelas Enam - Bagian Kedua
Suatu malam di minggu kedua itu, entah hari keberapa, ibu baru saja orgasme setelah memeknya kuhisap dan kujilati. Selama lima menit aku asyik menggeseki kelaminku di memeknya, dengan kontolku yang selalu menoweli lubang kencing ibu, ketika tak sengaja akibat ibu yang bergerak mundur dan aku yang bergerak maju, kepala kontolku masuk setengah ke dalam lubang kencing ibu.
“Aduh… Kok masuk?”
Aku buru-buru menarik lalu menggeseki lagi sambil berkata, “baru ujungnya doang bu, ga apa-apa kan?”
“ati-ati sayang…” kata ibu menimpali.
Setelah beberapa waktu lewat, kepala kontolku kembali masuk setengah ke lubang kencing ibu.
“Yaaaaang!” ibuku menegur pelan.
“Oops… Sorry…”
Kucabut dan gesek lagi memek ibu yang kini sudah banjir. Setelah beberapa waktu lewat, kembali kepala burungku menancap setengah. Aku mengucapkan “sorry!” dengan cepat dan kembali mencabut kontolku dan menggesek bibir kemaluan ibu kembali. Ibu hanya mendengus. Entah mendengus sebal atau birahi. Aku tancapkan lagi kepala kontolkku sedikit dan mencabutnya untuk kemudian menggesekkannya kembali.
Ibu hanya mendecakkan lidah untuk memberikan tanda bahwa ia sebal namun tidak berkata apa-apa lagi. Tak lama aku menancapkan kepala burungku lagi dan secara cepat kembali aku cabut dan gesekkan ke kelaminnya. Tak ada tanggapan. Sehingga, setelah lima menitan, gerakanku adalah tiga kali gesek, satu kali tancap.
Kami berdua mengerang nikmat. Tak lama ibu mengejang orgasme dan aku menyusul juga dengan menindih pantatnya keras-keras, kontolku di antara belahan pantatnya, ibu yang tadinya posisi doggy style kini dengan lemas terjatuh telungkup dengan aku yang menindihnya karena orgasme. Kami tertidur sampai pagi.
Besoknya, tiap kali kami bergesekkan kelamin, aku selalu sedikit menancapkan kontolku sebelum tiga kali menggesek bibir kelamin ibu. Ibu selalu orgasme tiap kali kami menggesek kelamin kami. Ditambah dengan oral seks, maka ibu hampir setiap kali akan dua kali orgasme sebelum aku orgasme sekali, kecuali bilamana ibu menolak dioral dan ingin langsung digesek-gesek olehku.
Hari sabtu di minggu kedua sebelum kami tidur, ibu sudah orgasme dengan dioral olehku, dan kemudian ibu nungging dengan posisi doggy style dan kami menggesekkan kelamin seperti biasa. Namun yang beda adalah saat itu kami berdua bersamaan mengalami orgasme. Ibu medorong pantatnya mundur dan aku mendorong maju kontolku, seperti biasa kepala kontolku menancap setengah.
“Hendraaaaaa! Jangaaan! Sakiiiittt!” tangan kanan ibu menahan pinggulku agar kontolku tidak menembus lebih dalam lagi, namun kontolku telah berdenyut-denyut dan aku mengalami orgasme paling hebat sepanjang pengalamanku dengan ibu sampai saat itu. Badanku ikut mengejan kecil. Dan aku menindih ibuku, ibupun dengan lemas telungkup.
Setelah beberapa menit ibu berkata lirih.
“Kok dimasukin yaaangg?” suaranya merajuk bagaikan anak minta mainan, tapi di telingaku terdengar sangat mesra dan menggairahkan.
“Cintaku… Kan cuma ujungnya aja? Ga apa-apa ya?”
“tapi kan ga boleh yang. Dosa…” kata ibu dengan suara manja.
“cin… Kan udah terjadi… Ga apa-apa ya? Kan cuma ujungnya aja, ga semuanya masuk… Ibuku cintaku ga marah kan?”
“anakku sayangku… Ibu ga marah… Tapi ga boleh lagi ya?”
“cintaku… Kan udah terlanjur… Ga apa-apa ya kalau ujungnya doang? Please… Ibuku cintaku kan yang paling baik dan paling cantik…”
Ibuku terdiam. Nafasnya makin lama makin stabil.
“sakit tahu… Kepala kontol sayangku besar sih…”
“sekarang masih sakit ibuku tercinta?”
“sekarang nyeri aja sih…” aku bergerak menarik kepala kontolku.
“Jangan gerak dulu, Yang… Masih nyeri”
Aku berlutut, kutarik paha kanan ibu ke atas.
“mau ngapain sayang?”
“berhubung masih boleh di dalam dan belum boleh dikeluarin, anakmu mau lihat kepala kontolnya yang masuk di vagina ibunya. Pasti terlihat indah. Anakmu mau mengingat pemandangan ini seumur hidupnya, ibu.”
Kulihat ibu merengut, tapi mukanya jadi terlihat cantik. Ia memerintahkan aku untuk memposisikan diri bagaikan push up, dan jangan bergerak. Ibu beringsut memutar tubuhnya perlahan sehingga ia berbaring, tanpa melepaskan koneksi kontolku dan memeknya. Sambil terus merengut ia berkata manja saat ia sudah berbaring penuh di bawahku.
“dasar anak cabul. Tuh lihat puas-puas deh tititnya sudah dimasukkin ke memek ibunya.”
Agar dapat melihat kelamin kami lebih jelas, maka dari posisi push up perlahan aku beringsut dengan kedua tanganku kutarik berjalan ke belakang di tempat tidur dari posisi kedua telapakku sejajar pundak sampai kedua telapakku sejajar pertuku. Sementara kedua kakiku kutaruh perlahan di tempat tidur dengan kedua paha ibu yang mengangkang dengan kaki mengapitku.
Batang kontolku yang masih keras dapat terlihat dan batang itu secara kaku membujur dengan ujung bagian sana yang tenggelam dalam lipatan bagian bawah memek ibu yang merekah menunjukkan warna merah muda dengan cincin lubang kencing yang tampak merekah menjepit ujung batang kontolku. Sungguh pemandangan yang luar biasa.
“Ibuku cintaku, kelihatannya indah ya?”
“anak cabul,” katanya dengan mulut dimonyongkan, “otak kamu emang ngeres… Tapi emang sih kelihatannya indah.”
Lalu ibu meledekku dengan menjulurkan lidahnya. Wajah ibu begitu indah dan entah kenapa kulihat seperti anak abg saja yang sedang bergurau sama pacarnya. Kedua tanganku kugerakkan kedepan lagi hingga kedua wajah kami menjadi dekat dan kujilat lidah ibuku.
“masih kurang, cabul?”
Aku tidak menjawab tetapi mencecer mulutnya lagi. Ibu kini merangkul leherku dan kami berciuman dengan panas. Lidah kami beradu berkali-kali. Kupeluk tubuh ibu yang setengah terangkat itu lalu aku tindih badannya. Kedua kaki ibu merangkul badanku dari samping. Kami asyik menukar ludah kami berkali-kali tanpa bosan.
Pelukkan kami semakin erat. Berkali-kali bibir kami berpisah dengan diiring bunyi kecupan keras, dan berkali-kali kedua bibir kami berbenturan lagi. Saling mengecup saling menghisap dan saling menjilat-jilat. Tak lama tubuh kami berkeringat lagi dan memek ibu mulai basah, dengan kepala kontolku yang dari tadi menegang dijepit liang senggama ibuku.
Dalam balutan birahi yang semakin lama semakin meninggi, aku peluk tubuh ibuku erat-erat, lalu memposisikan kedua kaki dan selangkanganku dengan baik untuk kemudian aku hentakkan pantatku kuat-kuat ke depan sehingga seluruh kontolku amblas masuk ke memek ibu yang licin namun sangat sempit. Anehnya ketika tiga perempat kontolku masuk, aku merasakan ada yang menghalangi hujaman kontolku di dalam memek ibuku, namun karena aku menghujamkan kontolku kuat-kuat, halangan itu seakan robek ditembusi kemaluanku itu sehingga akhirnya batang kontolku kini terbenam semuanya ke dalam liang memek ibu kandungku itu.
Ibu berteriak kesakitan ketika tubuh kami menyatu. Aku menindih ibu sebelum ibu bereaksi. Kedua kaki ibu kini menjepit pantat dan kakiku begitu eratnya. Kedua tangannya mendekap pantatku.
“Hendra… Sakiiiiitttt… Kok kamu masukkin?”
Jepitan dinding ibu begitu ketat di kontolku seakan tangan yang menggenggam erat, tapi dinding memek ibu itu kurasakan sangat hangat dan basah, bagai beludru licin yang melingkupi sekujur batang kontolku. Sungguh nikmat.
“Aduuuuuhhh… Lubang kencing ibu sempit bangett… Bukannya tadi kontol anakmu sudah masuk di dalam memek ibunya?”
“tadi kan ujungnya doang, yaaaang…”
“sekarang ujungnya doang juga masih di dalam kan, cinta?”
“Ih sebel!” kata ibu, mukanya merengut lagi, “Kamu kayaknya ngerobek memek ibumu…”
“Iya bu… Hendra merasakan ada sesuatu di memek ibu. Ketika kontol Hendra masuk, kayak ngerobek sesuatu…”
Wajah ibu sekarang berubah serius, ia mengangkat kepalaku dengan kedua tangannya hingga kami berpandangan.
“Ibu juga. Ibu merasakan ada yang robek. Coba kamu tarik kontolmu keluar berdarah ga?”
Aku jadi takut. Jangan-jangan aku melukai ibuku dengan kontolku. Bergegas aku menarik kontolku, namun ibu menyuruhku pelan-pelan karena sakit. Akhirnya perlahan aku menarik dan ketika kontolku keluar, ada noda darah di kepala kontolku, dan sedikit darah di lubang vagina ibu.
“berdarah, bu. Apa kita perlu ke dokter?” tanyaku panik.
Tiba-tiba ibu tertawa. Katanya.
“Ternyata ibu masih perawan!” lalu tertawa lagi. Aku menjadi bingung. Ibu masih perawan? Mana bisa? Kan sudah nikah? Tapi melihat ibu tertawa dan tidak kesakitan, maka aku yang masih horny mengarahkan kontolku lagi dan aku hujamkan lagi kontolku di memek ibu yang berdarah itu hingga akhirnya seluruh kontolku amblas, dan yang lebih hebat lagi, sekitar satu senti ujung palkonku menancap di lubang rahim ibu.
Ibu mengerang kesakitan. Tapi tidak separah tadi.
“Coba kamu diam dulu. Jangan dicabut colok kayak gitu. Biarkan di dalam…”
“Ibu, kalo boleh tahu, apakah ibu masih perawan? Kok bisa?”
“Ibu kira ibu udah ga perawan… Cuma emang pada malam pertama, darah perawan ibu ada, tapi cuma dikit sekali, kayak setetes dua tetes gitu. Sekarang ternyata selaput dara ibu belum jebol semuanya. Kayaknya papamu hanya ngebolongin sedikit karena kepala kontolnya cuma mentok sampe di situ saja. Karena kontol kamu gede banget, seluruh selaput dara itu akhirnya jebol.
“Kamu emang anak yang mesum, Ndra. Masak dari kelas satu kamu udah nafsu sama ibu kamu sendiri? Dari dulu kamu suka ngendus-ngendus punggung ibu, pertama kali ibu jadi risih, tapi karena ibu sayang kamu, maka ibu biarin aja. Tapi, lama kelamaan kamu ga hanya ngendus, kamu mau lebih. Kamu mulai deh cium-cium punggung ibu.
Ternyata ibu tahu dari dahulu dan membiarkan saja aku. Ternyata ibu sangat menyayangi aku hingga aku bebas melakukan apapun terhadapnya. Bahkan kini kontolku sudah terbenam sangat dalam di kemaluan ibu. Aku hendak menarik kontolku karena aku ingin menggesekki sekujur lubang memek ibu namun ibu berkata lagi.
“Jangan dulu. Biarkan memek ibu beradaptasi. Kontol kamu rasanya membuat lubang vagina ibu sesak. Ga ada celah lagi. Kontol kamu juga udah nancep di lubang rahim ibu. Seakan-akan kontol kamu memang dibuat untuk memek ibu. Ukurannya pas banget. Panjang kontolmu itu sepanjang liang memek ibu.”
Daripada aku nganggur, aku segera mengenyot pentil kiri payudara ibu, sementara payudara kanan ibu aku remas dengan tangan kiriku.
“Betul, Ndra… Isepi pentil ibu dulu… Kayak gitu…”
Sempitnya liang peranakan ibu membuat kepalaku pening menahan birahi. Memek ibu makin lama makin hangat dan licin. Akhirnya setelah beberapa menit payudara ibu aku lumat dengan bibirku, ibu berkata lagi.
“Coba kamu gerakkin kontolmu maju mundur… Pelan dulu…”
Aku tarik pantatku, kurasakan ketatnya dinding kemaluan ibuku itu mencengkeram sekujur batang kontolku, begitu nikmatnya perasaan ini. Begitu pas ukuran kelamin kami berdua sehingga sepertinya ibu diciptakan untukku. Aku dorong lagi pantatku ketika kontolku keluar setengah. Ibu memelukku erat, kedua tangan dan kakinya memeluk tubuhku, dengan tumit kaki ditekan di pantatku.
“eenggghhh… Besar sekali kontol anak kesayanganku… Ngilu tapi nikmaaat… Ssshhh…”
Beberapa menit aku menarik dan mendorong kontolku di dalam vagina ibu secara perlahan. Memang ada sedikit ngilu, tapi rasa itu bagaikan ditenggelamkan oleh perasaan lain. Kenikmatan seksual. Ribuan bahkan jutaan syarafku di seluruh tubuh bagaikan ikut merasakan apa yang dirasakan oleh syaraf-syaraf di kemaluanku.
OMG, aku sekarang sedang mengentoti ibu kandungku yang melahirkanku. Aku kini kembali ke dalam tubuh ibuku, walaupun hanya kelamin saja. Aku dan ibuku sekarang menjadi satu tubuh. Tubuhku dan tubuh ibuku kini menyatu. Kami bagai entitas baru yang terdiri dari dua manusia yang menjadi satu badan. Tak ada yang menghalangi tubuh kami berdua menyatu.
Aku sudah lupa segala larangan dari ibu. Mulutku telah menyedoti sekujur dada ibuku hingga kini terlihat kulit payudaranya yang putih sudah dipenuhi oleh cupangan yang membekas merah tua. Aku sudah menandai bahwa perempuan ini, perempuan yang mengandungku selama sembilan bulan, kini adalah betinaku.
Makin lama dari bersetubuh kami menjadi mengentot. Mengentot bagai dua binatang yang penuh birahi. Kedua selangkangan kami akhirnya saling membentur dengan keras menyebabkan suara tubuh beradu terdengar jelas. Plak plak plak plak memenuhi kamar tidur kami ditingkahi suara lenguhanku dan erangan erotis ibuku.
“entot ibu… Entot ibu… Entot memek ibu yang kuat… Aaahhh… Sodok memek ibu keras-keras… Rebut mahkota ibu… Rampas kehormatan ibu… Gagahi ibu… Entoti ibu… Ngentot terus… Terus entot ibu… Teruss… Entoooott… Terussss… aaahahhhh… Kocok kontol kamu di memek ibu…
“aaahhh.. Memek ibu sempit… Enak… Kontol Hendra dijepit-jepit… Enak ngewean sama ibu… Hendra mau ngentotin ibu selamanya… Selamanya… Memek ibu milik Hendra…”
Lama-kelamaan aku tak tahan juga, aku gagahi liang senggama ibu keras-keras. Ibupun menambah kecepatannya. Ketika kurasakan memek ibu menjepitku sangat keras disertai dengan gerakan mengejan ibu bagai orang ayan di bagian selangkangannya, aku tak tahan lagi dan mengalami orgasme. Hanya saja, kali ini tidak kering!
“Enaaaakkk buuuu…” teriakku dalam balutan kenikmatan yang tak terperikan.
“Ibu sampeee Yaaaaanggg…”
Kutekan dalam-dalam kontolku selama spermaku menembaki liang rahim ibu. Ibu memelukku begitu erat sehingga aku agak susah bernafas. Dan akhirnya kami yang lemas terpuruk di situ dengan aku tetap menindih ibu dan kontolku yang masih terbenam di dalam memek ibuku.
Tiba-tiba ibu menarik kepalaku sehingga aku menatap wajah ibu.
“Waktu kamu orgasme ada yang keluar dari kontol kamu ya?”
Wajah ibu begitu serius dan ada rasa takut yang terlihat. Jawabku.
“Maa… Ma… Maaf bu. Tadi Hendra pipis di memek ibu…”
Ibu menghela nafas, katanya.
“Itu bukan air kencing, yang. Itu adalah cairan sperma. Ketika seorang lelaki menjadi dewasa, selain air kencing, dia juga mengeluarkan cairan sperma.”
“Beda ya bu?”
“Beda, air kencing itu seperti air biasa. Kalau air sperma itu kental. Cara ngeluarinnya juga beda. Kalau air kencing mengalir, kalau sperma dikeluarkan seperti dimuntahkan berkali-kali.”
“Iya bu. Tadi berkali-kali keluar. Artinya Hendra sudah dewasa ya?”
“Iya. Bila lelaki sudah punya sperma, dia sudah bisa mempunyai anak.”
“Maksud ibu?”
“Kalau sperma itu dikeluarkan di dalam vagina seorang wanita, maka sperma itu bisa membuahi sel telur wanita itu. Wanita kalau dewasa memproduksi sel telur. Kalau sperma itu bertemu dengan sel telur maka akan menjadi janin yang nantinya akan menjadi seorang bayi.”
“Jadi, karena tadi Hendra mengeluarkan sperma di dalam memek ibu, maka ibu bisa hamil?”
Ibu menghela nafas. Lalu ia mengangguk. Tampak ibuku menjadi sedih. Namun, aku malah merasa senang. Aku ingin sekali bisa menghamili ibu. Ibu kan cintaku. Seharusnya ibu aku hamili dan bukan orang lain!
“Yes!” aku berteriak kesenangan. Ibu menatapku dengan tampang penuh keheranan.
“Kok kamu senang?”
“Kan ibu itu cintaku. Memek ibu kan punya aku. Ibu sendiri yang bilang begitu. Maka, Hendra sebagai kesayangan ibu harus menghamili ibu. Karena ibu adalah milik Hendra.”
“Hendra, masa anak sendiri menghamili ibunya? Apa kata orang?”
“Lah, enggak usah kasih tahu oranglah. Kalau ibu hamil kan orang lain menganggap sudah biasa. Ibu kan punya suami.”
“Kalau ayah kamu tahu gimana?”
“Dia kan ga perlu tahu. Yang penting, Hendra akan setiap hari ngentotin ibu sampai ibu hamil, nanti kalau ibu positif hamil, ibu ajak ayah ngentot biar ayah ga curiga. Tapi cuma sekali aja ya ngentotnya. Soalnya ibu kan milik Hendra.”
Ibuku berpikir keras selama beberapa menit, selama ia berpikir, aku yang sedang semangat karena bisa menghamili ibu, mulai menciumi leher dan dada ibu yang mengakibatkan aku kembali menjadi horny tak lama setelah itu. Kontolku yang tadi sudah melembek dan tadi sudah setengah mengecil, kini kembali keras.
“Kamu ngebet terus sama ibu.” kata ibu setelah menghela nafas.
“abis ibu cantik kayak bidadari.”
“gombal.”
Ibu menundukkan wajahnya dan mencium aku selama beberapa saat, kemudian merebahkan diri lagi. Ia merengkuh leherku dan mulai menggoyang tubuhnya memutar. Ini pertanda bahwa ibu juga kembali horny maka aku mulai mengocok kontolku di memeknya yang sempit namun basah dan hangat. Memek ibu dapat bergerak bagaikan membuka menutup, menambah nikmat sensasi yang dialami oleh kontolku.
Persenggamaan kami yang kedua itu lebih pelan. Bila persetubuhan pertama penuh dengan nafsu birahi liar, maka kini kami berdua mengentot dengan suasana sensual dan romantis. Gerakan kami tidak tergesa-gesa, dan kami saling berciuman dan meraba tubuh pasangan kami. Kami berdansa tarian persenggamaan diiringi irama tubuh dan suara desahan nafas beserta benturan badan.
Tubuh ibu yang indah kudekap erat sehingga dapat kurasakan detakan jantungnya di dadaku. Kulitnya yang basah dan licin begitu halus kuelus dan kucium. Wangi tubuhnya yang menggoda kelelakianku menjaga birahiku tetap tinggi. Dalam suasana penuh cinta, kami mereguk kepuasan itu bersama-sama, saat penisku yang menggagahi vagina ibu menghujam sedalam-dalamnya, mengirimkan jutaan calon anak kami dalam lingkupan pejuku yang kental dalam rongga kenikmatan dan meluncur sampai ke rahim yang dulu menjadi tempat tinggalku selama sembilan bulan.
Kelas Enam Bagian Ketiga
Ketika aku bangun, aku ingat hari itu hari Minggu. Aku senang sekali karena tidak perlu sekolah, apalagi kini hubungan ibu dan aku sudah mencapai puncaknya. Dengan semangat, tanpa mengenakan baju, aku mencari ibu. Ibu tidak ada di rumah. Mungkin sedang beli makanan. Aku bergegas mandi agar tidak terlalu bau, supaya ibu senang dengan anaknya yang wangi karena hari itu aku bertekad untuk mengentoti ibuku lagi.
Aku mandi cepat beserta shampoan juga. Setelah mengeringkan rambut aku menunggu ibu dengan telanjang bulat. Tak lama ibu tiba di rumah membawa bungkusan makanan.
“Hendra. Kok telanjang?” kata ibu ketika masuk rumah. Aku hanya nyengir nakal sementara ibu menutup dan mengunci pintu lalu menaruh bungkusan makanan di rumah. Ibu bergegas ke dapur namun aku dengan sigap mengikuti ibu dan ketika baru sampai di kamar tidur, aku meraih lengan ibuku.
Ibu membalikkan badan. “Mau apa?” tanyanya.
Aku tidak menjawab melainkan memeluk pinggangnya dengan kedua tangan dan sambil menjinjit aku mencium bibirnya. Lidah kami langsung berkelahi saling memberikan ludah satu sama lain. Beberapa menit kemudian aku melepaskan bibirku dengan sedikit ludah terjalin tipis di antara bibir kami lalu jatuh ke dagu masing-masing.
Rambut ibu akhirnya terbebas dan terlihat agak basah dan wangi shampo. Ibu memakai baju kurung yang ia buka ketika aku buka jilbabnya. Ketika jilbabnya jatuh, ibu menjatuhkan bajunya pula. Ibu kini tampak seksi kini hanya dengan bra dan celana dalam hitam. Aku menuntunnya perlahan ke tempat tidur dan kami berdua duduk di tepi ranjang.
Entah kenapa, ketika kali ketiga kami bercinta, aku tidak terburu-buru. Mungkin karena kini kami bercinta dalam terangnya pagi. Mungkin karena ketika aku melihat ibu berdiri dengan pakaian dalam saja dan rambut basah terurai, aku melihat ibu bagaikan seorang dewi yang turun dari kahyangan. Dengan tubuh yang putih dan ramping dihiasi kedua payudara yang disangga bra hitam yang kontras dengan kedua buah dada yang besar berhiaskan urat-urat halus berwarna kebiruan, memperlihatkan keindahan belahan dadanya yang dihiasi oleh lembah sempit.
Aku merasa ibu begitu lembut dan rapuh, sehingga aku melakukan segalanya dengan perlahan. Mungkin karena ketika kami ngentot kedua kalinya tadi malam, aku mendapati bahwa persenggamaan yang pelan dan penuh cinta, sangatlah memuaskan. Karena prosesnya lebih lama sehingga birahi kami ketika dilepas, bagaikan air bah yang dahsyat menerjang.
Bibir ibu yang hangat begitu lembut mengunyah bibirku, lidahnya yang basah mencari-cari lidahku. Ciuman kami begitu perlahan dan erotis. Mulut kami beradu dengan perlahan mengirimkan sinyal-sinyal yang begitu erotis, begitu tabu namun begitu nikmat. Dapat kucium bau mulut ibu yang bagaikan angin dari surga, dapat kucium wangi tubuh ibu yang berbaur dengan wangi sampo dan sabun yang sebelumnya menyapu tubuh indahnya.
Dapat kurasakan juga hangat tubuh ibu yang menjalar di kulitku. Dapat kurasakan begitu halusnya kulit punggung ibu yang kuelus perlahan-lahan di kedua telapak tanganku. Di duniaku saat ini hanya ada ibuku seorang. Tak terdengar lagi dunia luar di kupingku. Kepalaku hanya dipenuhi oleh suara debaran jantungku dan bau tubuh ibu kandungku yang hampir telanjang itu.
Waktu bagai terdiam dan berhenti berdetak. Entah berapa lama kami berciuman, mungkin satu, dua atau lima menit. Tidak ada yang menghitung. Namun lama-kelamaan, nafsu birahi kami mulai menguasai sanubari. Ciuman kami bertambah liar. Ibu mulai mendesah-desah. Lidah kami mulai menari liar. Pelukan kami mulai bertambah erat.
Ibu tidur telentang dengan aku menindihnya sementara kami berpelukan sambil saling mengecup, mencium dan menjilat. Terkadang kami membuka mulut dan lidah kami saja yang saling menempel dan saling menggesek. Terkadang aku sedot lidah ibu dan terkadang ibu yang menyedot lidahku. Mulut kami kini bagaikan satu organ yang saling berhubungan.
Kemudian aku mulai menciumi leher ibu. Kulitnya yang halus kujilat dan kucium, bahkan aku cupang. Ibu mendesah hebat ketika aku mencupanginya. Kedua kaki ibu memeluk tubuhku. Ciumanku turun ke dadanya. Tak lama dada ibu telah berhiasakan tanda cupanganku di sana-sini. Kutarik BH ibu yang ukurannya satu cup lebih kecil itu sehingga kini kedua payudara ibu menjadi menyembul keluar disangga bhnya.
Ketika sudah beberapa menit aku menyelomoti buah dada ibu, barulah aku mengemut puting kanan tetek ibuku yang sudah tegak bagaikan ujung pensil. Saat itu ibu mengerang dan berkata.
“Sayaaaanggg… Ibu sampeee…”
Ibu mengendurkan rangkulannya dan kurasakan celana dalamnya sudah basah. Aku melepaskan pelukanku dan menarik celana dalamnya sehingga akhirnya lepas dari tubuhnya.
Aku kaget ketika kudapatkan, ibu telah mencukur jembutnya sehingga kini, bulu yang tadinya lebat di selangkangannya kini membentuk segitiga kecil di atas memeknya. Bagian lainnya sangat bersih. Ternyata ibu bangun pagi-pagi untuk mencukur jembutnya.
Melihat keindahan surgawi ini, aku segera menjilati memek ibu yang sudah basah oleh cairan kewanitaannya itu. Memeknya yang tembam kubuka dengan kedua jari jempolku sehingga memperlihatkan vagina ibu yang mungil dan lobang yang tampak kecil. Lidahku menyapu dari bagian bawah ke atas, sehingga merasakan manisnya cairan memek ibu yang mengeluarkan aroma keras tubuh ibu yang sedang birahi itu.
Aku tak tahan lagi, aku segera menggenggam kontolku dan kutaruh di depan lubang mungil vagina ibu, dan aku hujamkan kemaluanku dalam-dalam di kemaluan ibu yang indah dan hangat. Untuk kedua kalinya, ibuku dan aku menjadi satu tubuh. Dapat kurasakan dinding memek ibu menyelimuti sekujur penisku dengan ketat.
“kontol enak… Kontolmu enak… Entotin ibu, yaaaanggg… Entotin ibu kuat-kuat…”
“memek ibu legit… Sempit… Manteb…”
Lalu aku mulai merojok-rojok memek ibu yang sempit itu dengan kontolku yang sudah dalam tahap tegangan paling tinggi. Ibu makin meracau dan aku berusaha membalas omongan jorok ibuku.
“sodok terus memek ibumu… Memek ini milik kamu, nak… Entotin ibu kandungmu ini yaaaaanggg…”
“Hendra akan ngentotin ibu tiap hari… Biar Hendra bisa buntingin ibu… Hendra mau buntingin ibu…”
“Kamu anak kurang ajar… Mau buntingin ibumu sendiri… Dasar anak mesuuuummmmm… Dari kecil udah mesuuuummmm… Ayo mesumin ibu… Ayo buntingin ibu… Ayo gagahin ibu sepuas kamu…”
“Ibu sekarang pereknya Hendra… Pereknya anak sendiri… Ibu pereeekkkk…”
“Iya… Buntingin perekmu… Ibu memang perekmu semenjak kamu cium-cium punggung ibu…”
Kini kami mengentot tanpa kendali. Kedua selangkangan kami berbenturan keras berkali-kali. Keringat kami berdua sudah menyatu dan bercampuran, sementara kelamin kami pun kini adalah satu. Ibu dan anak sudah tidak lagi menjadi dua, melainkan satu tubuh yang berpusat pada dua kelamin. Tak ada batasan di antara kami, yang ada adalah keintiman yang tabu.
Ketika aku menyemprotkan spermaku berkali-kali di rahim ibu, ibu memelukku erat-erat dan berteriak bagai kesetanan.
“semprotin peju kamu di rahim ibu… Ibu sampeeeeee…”
“ambil peju Hendra… Kita bikin anak bareng-bareng bu…”
Tak lama kemudian aku merebahkan diri di samping ibuku, sementara air maniku mengalir perlahan ke luar dari vagina ibu. Kami berciuman mesra dan berpelukan dengan menyamping, menikmati klimaks kami yang baru saja lewat.
Entah berapa lama kami berciuman, barulah kemudian ibu berjalan ke ruang tamu, dengan pejuku yang masih mengalir untuk mengajakku sarapan nasi uduk yang tadi dibelinya. Semenjak saat itu, kami selalu telanjang di rumah. Ibu selalu memakai pakaian rapi bila aku tidak di rumah, tetapi ketika aku mengunci pintu saat baru sampai di rumah, maka ibu akan bergegas ke kamar dan membuka seluruh bajunya.
Maka aktivitas harianku berubah lagi. Aku akan bangun pagi telanjang bulat di tempat tidur. Kadang aku bangun terlebih dahulu dari ibu, kadang ibu yang bangun duluan. Bila aku yang bangun duluan. Aku akan bergegas gosok gigi, lalu kembali ke tempat tidur dan mulai menciumi tubuh telanjang ibu. Tubuh ibu tiap hari akan penuh cupang, karena setiap kali kami berduaan di rumah aku pasti akan menggarap ibu dan selalu aku akan mencupangnya.
Biasanya ibu akan terbangun saat aku asyik mengenyot-ngenyot kedua buah dada ibu. Bila ibu bangun, aku tak peduli dengan bau mulut ibu yang belum gosok gigi, aku selalu mencium ibu dengan hot. Kami akan melakukan french kiss dengan liar. Untuk kemudian kami akan bersenggama sampai kami berdua orgasme.
Aku selalu mengusahakan agar ibu orgasme duluan, biasanya aku oral, baru kemudian aku akan mengentoti ibu dan biasanya waktu aku ngecrot di dalam vagina ibu, ibu akan mengalami orgasme yang kedua kalinya. Lalu kami akan mandi bareng. Terkadang aku horny lagi sehingga aku akan mengentoti ibu lagi dengan posisi doggy style.
Namun, bila ibu yang bangun terlebih dahulu, ia biasanya langsung ke dapur untuk menyiapkan masakan setelah ia gosok gigi. Aku segera gosok gigi karena tak mau ibuku kebauan jigongku, lalu aku akan mulai menciumi tubuh telanjang ibu. Terkadang ibu horny sehingga ia minta di doggy olehku, terkadang ibu cuek saja sehingga bila aku yang horny, aku akan menjilati memek ibu sampai basah, baru dari belakang ibu akan kudoggy sampai aku ngecrot lagi di dalam kemaluannya.
Setelah itu kami akan sarapan, aku akan berseragam lengkap sementara ibu tetap telanjang. Terkadang sekali, aku akan horny lagi, dan biasanya aku memelorotkan celana dan di ruang tamu, aku akan menyetubuhi ibu lagi hingga aku puas. Aku biasanya hanya melap kontolku saja agar celana dalamku tidak lengket, namun aku tidak mencucinya.
Pulang sekolah, ibu yang sudah telanjang di kamar akan bertanya kepadaku.
“Mau ngentot sekarang atau nanti?”
Hampir selalu aku akan bilang bahwa aku ingin saat itu juga. Hanya bila aku sedang letih (biasanya kalau hari itu ada pelajaran olah raga) aku akan bilang bahwa aku ingin nanti saja. Tapi bahkan ketika hari olahraga dan aku letih, aku terkadang horny berat, sehingga kadang aku entot juga ibuku walau sedang capek.
Setelah itu aku akan memeluk ibu terus dan menciuminya. Entah leher, bahu, punggung, pipi, tetek, apapun itu yang penting bibirku selalu menyerang tubuh mulus ibuku. Bila ibu berjalan ke dapur aku akan mengikuti ibu dari belakang dengan melingkarkan tanganku di pinggangnya, ibu terkadang merangkul bahuku juga.
Kami akan makan siang setelah kami berdua menyiapakan lauk pauk, nasi dan piring di kamar tamu, setelah itu aku akan makan sambil memeluk ibu, terkadang sambil makan aku akan menyusupkan kepalaku ke ketiak ibu dan mengendusi ketiaknya yang dihiasi bulu halus itu agar menambah nafsu makanku. Bila ibu mencuci piring aku akan berada di belakang ibu dan memeluknya dari belakang sambil menciumi atau menjilati punggungnya.
Bila ibu berjalan ke ruang tamu aku akan merangkulnya lagi. Bila ibu menonton TV, maka aku akan menciumi punggungnya lagi, terkadang aku akan nenen juga. Singkat kata, aku bagaikan benalu di ibu, karena aku selalu menempel. Ini menyebabkan, aku akan horny. Setiap kali aku horny, entah di dapur, di kamar tidur atau di ruang tamu, aku akan segera menyetubuhi ibu setelah kubuat memek ibu basah.
Jadi, waktu ngentotku dengan ibu tidaklah kujadwal dengan detail. Pokoknya tiap kali kontolku keras, aku akan memasukkannya ke dalam memek ibu. Seringkali kami tertidur di ruang tamu dengan TV menyala, itu biasanya karena aku akan mengentoti ibu di ruang tamu dan setelah itu kami terlalu letih untuk pindah ke kamar tidur.
Setelah seminggu, pada siang sampai maghrib, ibu hanya akan menonton sinetron kesayangan saja dan tidak pernah lagi menonton berita, atau acara lain di TV, karena setiap kali kami selesai bersenggama, aku tetap menempeli ibu, aku akan menciumi tubuh ibu, terutama punggung, dada dan wajahnya, setelah itu, bila sudah agak on, kami akan berciuman mesra, sebelum kami berhubungan seksual.
Tentu saja, ibu selalu memprioritaskan pelajaranku. Ibu memberikan aku dua sesi untuk bikin PR dan belajar dalam seharinya. Yaitu sore sesudah kami berhubungan seks secukupnya, dan juga malam setelah kami makan malam. Ketika aku belajar sore, ibu akan memasak, bila aku belajar malam, ibu akan menemaniku dan ia hanya memperbolehkan aku untuk menciumi dan menjilati tubuhnya saja, dan itu tidak boleh lama-lama.
Oleh karena itulah, kami tidak lagi tidur siang. Dari waktu aku pulang, kami akan ngentot sekali karena aku biasanya selalu horny bila sampai rumah, lalu makan siang, dan kemudian bersetubuh berkali-kali sampai sore sekitar jam 4 ketika aku harus belajar dan bikin PR sementara ibu memasak. Bila tidak ada PR atau prnya sedikit, maka malamnya aku tak perlu belajar lagi dan kami akan bersenggama setelah makan malam sampai kami berdua tidur pulas akibat kelelahan.
Untuk beberapa minggu sebelum ujian dan kelulusan, hidupku bagaikan mimpi saja. Aku merasa bahwa rumahku adalah surga dunia, di mana aku sebagai anak remaja dapat menyalurkan nafsu biologisku hampir tiap hari (minus waktu haid ibu tentunya). Bangun pagi kami akan bersetubuh, mandi bareng dan kadang bersetubuh di kamar mandi, kemudian sarapan terkadang pula aku akan menggauli ibu lagi sebelum aku pergi sekolah.
Sayangnya aktivitas baru itu harus tertunda setelah aku lulus SD. Alasannya adalah sudah libur panjang dan kami harus ke kampung lagi untuk mudik. Aku mulanya tidak mau, tapi ibu tetap bersikeras. Biasanya kami ke kampung dua minggu, kami pulang seminggu sebelum masuk sekolah. Tapi karena aku tidak mau mudik, ibu menawar bagaimana kalau seminggu saja.
“Ibu harus pulang. Nenekmu itu sangat sayang kepada kamu, karena kamu cucu laki-laki satu-satunya, dan nenekmu pasti akan marah bila kita tidak pulang kampung. Gini deh, kamu boleh entot bulik kamu si Ela, tapi kamu harus pakai kondom ya. Dan jangan dientot di rumah, di sungai aja kayak tahun lalu.”
Aku tercengang, terutama karena ibuku tahun lalu ternyata menguntitku diam-diam. Tapi aku segera menyadari bahwa ibu memperbolehkan aku main dengan perempuan lain, sehingga aku menjadi bahagia sekali. Saat itu aku segera menubruk ibu dan menyerang bibirnya dengan brutal. Nafsuku saat itu bagaikan berlipat ganda saja.
“Dasar penjahat kelamin kamu, Ndra… Ahhhhhhh… Begitu ibu kasih kamu entot bibi kamu sendiri, birahi kamu langsung naik dan kamu langsung menggagahi ibu dengan kasar. Ooooohhhhhh… Kamu menyodok-nyodok memek ibu dengan kontolmu kencang-kencang. Ssshhhhh… Otak kamu mesum. Kamu biadab. Kamu ga puas-puasnya.
“Hendra emang doyan memek… Hmppphhh… Hendra doyan memek ibu kandung sendiri… Soalnya memek ibu Hendra sempit dan legit… Hangat dan licin… Emmpphhhh… Hendra mau ngentotin ibu sampai ibu ga kuat berdiri…”
Suara benturan selangkangan kami memenuhi ruangan. Benturan yang cepat dan keras. Bunyi plak! Plak! Plak! Plak! Membahana dan adalah musik pengiring tarian tabu ibu dan anak. Sementara kontolku menggagahi memek ibu, mulutku dengan buas mengunyahi, menjilati dan menyedoti kedua payudara ibu yang besar dan tegak.
Kulit putihnya sudah penuh dengan bercak merah dan dibasahi keringat ibu, keringatku dan ludahku juga. Kami berpacu dalam nafsu binatang dalam detakan waktu yang seperti melambat, dan entah beberapa detik atau menit yang telah lewat hingga barulah kami mencapai puncak dari kenikmatan duniawi. Memek ibu berdenyut-denyut cepat dan bagian bawah tubuh ibu sedikit bergetar bagai kejang tanda bahwa ia mengalami orgasme, yang menyebabkan kontolku menumpahkan seluruh air mani yang ada ke dalam rahim ibu, untuk entah keberapa kalinya.
Akhirnya kami sepakat untuk pulang kampung selama satu minggu.
KELAS ENAM - KAMPUNG
Kami sampai di kampung jam 12 siang. Mbak Ela sedang bermain dengan teman sebayanya entah kemana. Ibu dan aku beres-beres. Aku dapat satu kamar lagi dengan Mbak Ela, tetapi ibu mewanti-wanti lagi agar aku tidak melakukannya di rumah. Takut ketahuan. Setelah itu aku menunggu Mbak Ela di teras rumah nenek.
Sekitar jam tiga, Mbak Ela baru pulang dengan menggowes sepeda. Sebelum masuk ke karangan rumah, Mbak Ela turun dari sepeda dan hendak membuka pagar, namun aku berlari mencegah dia masuk. Mbak Ela terlihat senang melihatku, namun kaget juga ketika aku bilang aku minta dibonceng. Maka Mbak Ela memboncengku juga.
“Ke mana Ndra?”
“Biasa… Sungai…”
Kak Ela terkejut, katanya, “Ndra… Mbak Ela bau, dari pagi main ke rumah temen di kampung sebelah. Mbak Ela mending mandi dulu di rumah…”
Aku yang memeluk pinggangnya menempelkan hidung di punggung Mbak Ela yang masih berbalut kaos begitu aku diboncengnya, dan Mbak Ela memang mengeluarkan bau tubuh, namun bagiku bau tubuh Mbak Ela enak dicium. Bau tubuh gadis remaja yang mengeluarkan keringat karena panasnya sinar matahari. Bau ini berbeda dengan bau tubuh perempuan matang seperti ibuku, namun tidaklah dalam arti yang buruk.
“Harum… Udah Mbak Ela nurut aja. Nanti aja mandinya.”
Akhirnya kami sampai di tempat kami yang biasa. Sepeda sudah tersembunyi di semak belukar di belakang pohon, dan posisi kami lebih tersembunyi lagi karena dikelilingi batu besar dan di tutupi pohon dan semak. Tahun ini semak-semaknya bertambah rimbun dan tinggi sehingga lebih tersembunyi dibanding tahun lalu.
Kami duduk di batu yang datar yang di apiti beberapa batu besar membelakangi pohon dan semak setelah menanggalkan sendal kami. Aku bergegas buka baju sementara Mbak Ela nyengir jail.
“Ga sabaran banget kamu, Ndra… Kebelet ya?” kata Mbak Ela mengolok-olokku yang sedang tegangan tinggi.
Saat itu aku sedang menanggalkan celana panjangku. Kataku singkat, “Kalau Mbak Ela ga telanjang, Hendra akan robek-robek bajunya sampai bugil.”
“Ih galak bener…” kata Mbak Ela tapi ia mulai menanggalkan pakaiannya.
Ketika aku sudah telanjang bulat, Mbak Ela sedang melorotkan roknya, sementara kaosnya sudah rapi di pinggir batu. Saat itu aku keluarkan kondom yang dibelikan ibuku yang kutaruh di salah satu saku celanaku. Bagian tubuh atas Mbak Ela kini hanya berbalutkan BH berwarna coklat muda. Setelah roknya lepas, Mbak Ela melipat roknya dan menaruhnya di samping bajunya.
Aku berdiri di belakang Mbak Ela yang baru saja berdiri tegak setelah nungging menaruh roknya, dan ia sedang membuka kaitan BH di punggungnya, aku langsung menarik celana dalamnya dengan cepat sehingga ketika Mbak Ela sudah melepaskan bra, celana dalamnya sudah di pergelangan kaki. Satu-satu Mbak Ela mengangkat kakinya hingga celana dalam itu dapat kulepas.
Walaupun tadi Mbak Ela mengejekku, tapi tampaknya dia juga sedang horny. Karena Mbak Ela membalas pagutan bibirku dengan tak kalah hebohnya. Lidah kami saling menyerang dengan semangat, menjadikan ludah kami saling bertukar dengan tanpa dapat ditahan lagi. Bau tubuh Mbak Ela yang berkeringat ditambah bau mulutnya yang basah menambah suasana erotis apalagi kulitku dapat merasakan kulit halus Mbak Ela yang menempel yang basah oleh keringat kami berdua.
Setelah beberapa saat aku melepaskan ciumanku dan menatap bidadari kedua dalam hidupku. Tubuh Mbak Ela makin seksi. Payudaranya yang sebelumnya bagai bakpao, kini makin membulat, walaupun tidak sebesar payudara ibu yang menyebabkan belahan dada Mbak Ela lebih lebar terlihat, tetapi bentuk bulatan buah dada Mbak Ela lebih tegak dan padat berbeda dengan ibu yang sedikit agak turun.
Apalagi letak kedua pentil tetek Mbak Ela lebih ke tengah payudaranya berbeda dengan puting ibu yang letaknya agak ke bawah sedikit. Pentil tetek Mbak Ela yang tahun lalu agak rata dengan areolanya, kini sudah sedikit menyembul malu-malu. Di payudara kiri Mbak Ela, agak ke tengah dada dan di bulatan bagian atas, ada satu tahi lalat yang menambah keindahan dua buah bukit ranum yang Mbak ela miliki.
“Kok diam?” tanya Mbak Ela dengan perlahan.
“Hendra lagi menikmati indahnya keajaiban dunia di hadapan Hendra.”
“Gombal!” rajuk Mbak Ela sambil merangkulku dan menciumku lagi. Kami kembali berciuman dengan penuh libido remaja. Bibir tipisnya menawarkan manisnya madu, tubuhnya menawarkan kehangatan dan kedua tangannya menawarkan hiburan sensual dengan mengelus punggungku dan sesekali meremas rambutku. Lalu lidahku mencari-cari kenikmatan di atas tubuhnya.
Indera pengecapku itu menari-nari dan mencari-cari sepanjang lehernya yang jenjang, menyelusuri lembah pemisah dua buah bukit yang indah, mendaki kedua buah dada itu secara teliti, tak meninggalkan satu sentipun. Aku ingin merasakan tiap jengkal keindahan tubuhnya. Ketika lidahku mencapai puncak bukit, maka mulutku mengatup dan menyedot ujung payudaranya itu dengan gemas sehingga Mbak Ela menjawab dengan erangan kecil tanda dirinya mulai dikuasai kenikmatan birahi.
Setelah mulut dan lidahku puas menyapu sekujur dada adik kandung ibuku itu sehingga hampir semuanya tertutup tanda cupangan, maka kembalilah lidahku berpetualangan dengan menjelajahi bagian tubuh Mbak Ela sebelah bawahnya lagi. Lidahku menjilati perut ramping bibiku itu, dan selama beberapa menit aku menyedoti pusarnya yang begitu indah yang terlihat bagaikan sebuah gua kecil ditengah perutnya, untuk kemudian secara enggan bergerak lagi ke bawah.
Sebelum mulutku menyentuh bulu kemaluan bibi kandungku itu, aku menatap daerah kehormatannya dengan gemas. Bulu jembut bibiku itu belum lebat. Bulunya yang keriting itu hanya segerombolan kecil menghiasi bagian atas vaginanya yang terlihat begitu rapat dan mengeluarkan bau tubuh yang kuat. Dengan kedua jempolku aku menyibak bibir luar memek bibiku itu, dan melihat bagian dalamnya yang berwarna merah muda dengan kelentit kecil di atas dan lubang yang kecil di bagian bawah.
Kubenamkan hidungku di vagina Mbak Ela. Mbak Ela menjepit kepalaku dengan kedua kakinya dan menekan pantatnya ke wajahku sambil mendekap kepalaku dari belakang.
“Geli Ndra… Enak…”
Bau tubuh Mbak Ela memenuhi hidungku sementara aku menjadi susah bernafas. Kudorong kedua paha bibiku itu sehingga ia mengangkang lalu dengan sekuat tenaga aku menarik kepalaku ke atas sambil menjulurkan lidah sehingga akhirnya lidahku mulai menjilati memek adik ibuku itu. Memek Mbak Ela mulai terasa basah dan hangat karena cairan cinta yang keluar dari dalam kemaluan bibiku itu ditambah dengan air ludahku.
Mbak Ela kini tidak berbicara melainkan mengerang-ngerang kenikmatan. Aku asyik saja menikmati air memek bibiku itu karena memang baru pertama kali merasakan nikmatnya rasa memek bibiku itu di lidahku. Selain bau tubuh yang berbeda dengan ibu, Mbak Ela juga memiliki rasa memek yang berbeda. Sama-sama gurih, namun ada perbedaan dalam aroma dan rasa.
Entah berapa lama aku menjilati memek Mbak Ela yang sudah banjir itu, ketika aku mulai menyedot-nyedot kelentit bibiku yang masih perawan itu. Mbak Ela mulai menggila dan sedikit berteriak-teriak.
“aaahhhh… Aaaahhhhhhh… Ahhhhhhhh… Yaaaahhhhhhh… Ahhhh… Terusss… Sedooootttt… Sedot itil Mbaaaakkkk…”
Kemudian ia menekan memeknya kuat-kuat di wajahku sambil berteriak karena kenikmatan yang sudah klimaks. Kurasakan memeknya mengeluarkan banyak cairan hangat yang kuhisap dan kutelan, hingga akhirnya tubuh bibiku itu melemas terlentang di atas batu dengan mata terpejam. Perlahan aku bersimpuh di depan selangkangannya, lalu kontolku dengan cepat taruh di depan lubang memek bibiku yang kecil itu, kubuat sehingga palkonku menancap ujungnya, lalu perlahan aku mulai menindih bibiku itu.
Karena begitu nafsunya aku, aku melupakan kondom yang sudah kusiapkan di pinggiran batu dekat pakaianku. Kedua tanganku menekan pinggul belakang Mbak Ela, lalu setelah aku merasa siap, aku hujamkan kontolku dalam-dalam. Dalam satu gerakan yang cepat kontolku menginvasi liang kencing bibiku yang masih perawan.
Bibiku berteriak kesakitan dan tubuhnya menjadi kaku bagaikan patung sementara kedua tangannya berusaha mendorong pinggulku.
“Aduuuuhhh… Sakiiiitttt Ndraaaaa…”
Namun Mbak Ela tak berhasil mendorong tubuhku, karena ketika kontolku terbenam di memeknya, aku segera menindih bibiku itu sambil memeluknya erat-erat.
“jangan didorong, Mbak. Diemin dulu. Tar enak deh…”
Mbak Ela tidak bergerak. Kulihat matanya terpejam dan dua butir airmata terjatuh dari kedua matanya. Aku menciumi leher Mbak Ela dan lama-lama kujilati dan kusedot-sedot lehernya. Akhirnya setelah tiga menitan, badan Mbak Ela sudah tidak kaku lagi dan kedua tangannya kini ditaruh di leherku. Nafas Mbak Ela mulai berat lagi.
Kembali Mbak Ela mengerang-ngerang karena merasakan nikmatnya ketika batang kontolku menggeseki sekujur dinding memeknya. Kini kedua tangan bibiku itu mulai mencengkram pantatku, dan ia menggoyangkan pantatnya sesuai irama pantatku. Hingga lama kelamaan suara selangkangan kami berbenturan mulai terdengar.
Entah berapa lama aku menyetubuhi bibi kandungku, adik dari ibuku itu. Namun irama persenggamaan kami makin lama makin cepat. Dalam balutan nafsu birahi kami berdua bersetubuh. Tubuh Mbak Ela dan aku menjadi satu. Kedua kelamin kami yang saling melengkapi kini sedang tersambung dan menjadi satu organ.
Sampai akhirnya aku rasakan memek sempit Mbak Ela menjepit kontolku dengan keras dibarengi suara Mbak Ela yang berteriak.
“Enaaaaaaknyaaaa…”
Memek Mbak Ela begitu panas dan sempit, apalagi menjepit seperti ini membuat kontolku tak kuasa membendung dan menahan lahar panasnya. Kusemproti rahim perawan bibi kandungku itu dengan seluruh air mani yang ada di kantong menyanku, sayup-sayup kudengar seorang perempuan berkata, “Jangaaaaan!” namun aku tak begitu memperhatikan karena seluruh spermaku telah tumpah di dalam rahim bibiku dan aku menindih bibiku itu dengan lemas.
Tahu-tahu tubuhku ditarik dari Mbak Ela dan kulihat ternyata ibuku yang melakukannya. Kami kaget. Saat itu ibu berkata dengan marah.
“Kok ngecrotin peju di dalam bibi kamu? Kan ibu bilang harus pakai kondom?”
Mbak Ela dengan takut melepaskan diri dariku dan bergegas mengambil pakaianku. Namun aku tak menghiraukannya, karena ternyata kontolku yang tadi sedikit melunak kini melihat ibuku yang tersengal-sengal karena berlari dan tubuhnya berkeringat mengeluarkan bau tubuh yang sudah aku hapal, membuat kontolku tegang lagi.
Aku menubruk ibu sehingga ia terlentang di atas batu yang datar itu. Dengan cepat bagian roknya telah tersingkap dan tangan kananku menarik bagian selangkangan celana dalam ibu dan menarik ke samping sementara kontolku dengan cepat aku taruh di memek ibu. Sudah ratusan kali aku mengentot ibu sehingga aku sudah hapal letak lubang vaginanya.
Mbak Ela yang baru saja memegang celana dalamnya tidak jadi memakaikan celana dalam itu demi melihat aku sudah menindih kakaknya dengan kontol terbenam. Sambil mengentoti ibuku, tanganku menarik tali bahu gaun ibu satu demi satu sehingga kini gaun ibu berjumbel di pinggang karena kutarik ke bawah. Sementara ibu melepaskan bhnya.
Ibu kemudian memegang kepalaku dan mencium bibirku dengan penuh nafsu. Di lain pihak, selangkangan kami berbenturan keras sekali, bahkan lebih keras dibanding ketika aku sedang merebut mahkota bibiku. Sambil saling melumat bibir satu sama lain dan juga saling mengentot kelamin kami masing-masing, kami berdua mengeluarkan erangan atau geraman bagaikan dua binatang yang sedang birahi.
Kemudian aku menyedoti seluruh dada ibu dan ibu menyemangatiku.
“Ayo Ndra… Entot ibumu keras-keras… Isepin tetek ibu… Jadikan ibu pelampiasanmu… Gagahi ibu… setubuhi ibu… Jadikan ibu isterimu… Karena ibu sudah mengandung anakmu…”
Aku terkejut, namun anehnya aku jadi tambah horny. Maka aku pegang pinggul ibu dan aku sodok-sodok memeknya sekuat tenaga.
“Yessss… Akhirnya ibu jadi betinanya Hendra! Akhirnya Hendra berhasil buntingin ibu! Ibu jadi milik Hendra! Hendra berhasil menghamili ibu! Ini… Biar Hendra tambahin sperma ke dalam perut ibu yang mengandung anak dan adik Hendra!”
Nafsu birahi ibupun tampaknya sudah memuncak, karena ia juga membalas kocokan kontolku dengan dorongan pantatnya dan ibu juga terus meracau.
“sirami terus rahim ibu dengan sperma kamu… Entotin ibu tiap hari… Ibu ga bisa hidup tanpa entotan kamu, Ndra…”
Nafsu kami berdua begitu hebatnya sehingga belum terlalu lama kami bersetubuh, kami berdua sudah orgasme. Detik pertama memek ibu menjepitku dengan keras, kontolku kubenam dalam-dalam dan menyemproti rahim ibu entah keberapa kalinya sebulan ini, rahim yang sudah terisi janin dariku. Setelah badai orgasme yang dahsyat, aku mengeluarkan kontol dari memek ibuku, lalu menghampir Mbak Ela yang masih memegang BH kakaknya.
Aku ciumi bibir Mbak Ela dan ia membalas. Lalu aku ciumi ibuku dan ibuku membalas. Untuk beberapa lama aku gantian mencium kanan kiri. Aku merasa sedang disurga. Kusuruh mereka berdua tiduran bersebelahan dan aku menindih mereka tepat ditengah. Kemudian melanjutkan cium kanan cium kiri. Tak lama aku mencium dan menjilati tubuh mereka dari kepala sampai memek secara bergantian.
Setelah setengah jam, kontolku keras lagi dan aku suruh mereka posisi doggy style lalu aku setubuhi mereka dari belakang bergantian pula. Kuentoti ibu selama sepuluh tusukan, lalu aku entoti Mbak Ela sepuluh tusukan. Benar-benar surga dunia. Entah berapa lama aku mengentoti mereka bergiliran ketika kurasakan mereka berdua sudah hampir sampai karena mereka mengerang dan menggoyangkan tubuh lebih cepat dan keras.
Tahu-tahu ibu mencium bibir Mbak Ela dan mereka French Kiss membuatku mengocoki memek adik ibuku itu dengan keras karena sudah tak bisa menahan diri. Aku tak mampu pindah, sehingga aku hanya mengentoti Mbak Ela saja. Untung saja sekitar semenit bibiku itu mencapai orgasmenya. Kemudian aku pindah dan menggenjoti memek ibuku yang masih belum sampai.
Beberapa menit kemudian, Ibu tahu tahu duduk di depan Mbak Ela dan melebarkan kakinya hingga selangkangannya tepat di depan wajah Mbak Ela. Memek ibu mulai mengeluarkan air maniku yang sudah dua kali aku tanam di perut ibu.
“bersihin peju anakku di memekku, nduk…”
Mbak Ela lalu menjilati memek kakaknya dan menelan semua sperma yang keluar dari memek ibuku itu. Ibu mulai memegang kepala Mbak Ela dan mulai menggeseki memeknya di muka adiknya itu. Akhirnya kusuruh Mbak Ela ganti posisi telentang. Kembali kontolku kubenamkan di memek Mbak Ela sementara ibu menduduki wajah Mbak Ela dengan memeknya.
Tahu-tahu ibu merebahkan diri, lalu menjilati selangkanganku dan selangkangan Mbak Ela. Ibu menjilati persenggamaan anak dan adiknya. Tepat di perpaduan kontol dan memek aku dan Mbak Ela ibu menjilati dengan lahap. Aku merebahkan diri dan mulai mengenyot-ngenyot punggung ibu yang penuh dengan keringat.
Setelah setengah jam setelah itu, aku mengentoti ibu sementara Mbak Ela tertidur. Kami mengentot dengan posisi standard missionary karena kami hanya perlu menuntaskan nafsu saja. Setelah itu aku mengentoti Mbak Ela yang terbangun karena merasakan memeknya dikocok lagi olehku. Ibu hanya menonton saja.
Sepanjang liburan aku, ibuku dan bibiku selalu pesta seks di pinggir sungai. Pada akhir kunjungan kami, ibu mulai muntah-muntah. Ibu berkata mungkin ia sudah hamil olehku. Aku bahagia sekali. Ibu berpikiran untuk menggugurkan namun aku menolak dan membujuk ibu untuk mengundang ayah ke rumah dan menyetubuhi ibu sekali, agar nantinya ayah mengira ibu hamil oleh karena ayah.
Berhubung Mbak Ela sudah lulus SMA, maka ia berniat untuk tinggal di rumah kami di Jakarta. Tapi nenek tidak setuju, dan walaupun sudah dibujuk oleh ibu dan Mbak Ela, nenek tidak bergeming. Jadi akhirnya kami hanya berdua kembali ke Jakarta. Di Jakarta ibu membeli beberapa test pack dan mengetes urinnya.
EPILOGUE - KELAS SATU SMP
Ketika kami sampai di Terminal Bus antar kota di Jakarta, ayah menjemput kami, dan atas bujukan ibu dan aku, kami meminta ayah menginap di rumah kami agar rencana kami untuk menjebak ayah berhubungan seks dengan ibu sehingga ayah tidak tahu bahwa benih di rahim ibu bukan anak kandung ayah, melainkan cucunya.
Aku sedikit cemburu, tetapi toh ibu sudah hamil anak dariku, sehingga sperma ayah tidak berdampak apa-apa bagi kami. Namun, rasa cemburu itu membuat aku menyetubuhi ibu hari itu berkali-kali, aku ingin memperlihatkan bahwa aku lebih jantan dan lebih memuaskan ibu dibanding ayahku. Ibu sepanjang hari tersenyum simpul tanda bahwa ia bahagia melihat aku begitu mencemburui ibu sehingga aku tidak meninggalkan tubuh seksi dan bugil ibu sedetikpun.
Sebulan kemudian ketika aku sudah bersekolah di SMP yang baru, ibu mendapat panggilan dari nenek untuk segera pulang. Beirhubung aku sekolah, maka aku diminta tetap di rumah. Ayahku selama tiga hari menemaniku di rumah. Hari ketiga, ibu datang dengan nenek, kakek, sepupu laki-laki kakek dan bibiku Mbak Ela.
Ketika makan di Mall kakek berkata bahwa ia mengetahui bahwa aku menghamili anaknya, yaitu bibiku sendiri. Aku gelagapan, tetapi kata kakek aku tidak usah takut, karena semuanya sudah beres. Berhubung ayahku tidak pernah datang ke kampung, maka ia sudah pangling dengan Mbak Ela, karena dulu ketika menikah dengan ibu, Mbak Ela masih kecil.
Walaupun rencana sudah matang, tapi aku masih memiliki rasa takut. Aku takut ayahku akan marah, karena aku yang baru masuk SMP, sudah menghamili anak gadis orang. Tapi kakekku meyakinkan aku bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Ketika aku pulang, ternyata kekhawatiranku itu tidak berguna. Ayah menarikku ke tempat tidur dan memberikan selamat kepadaku. Kata ayahku, aku adalah benar-benar anak yang mirip dengannya, bahkan melebihi dia, karena aku menghamili perempuan ketika aku masih SD. Aku adalah playboy kecil seperti bapaknya, kata ayahku.
Akhirnya setelah sebulan, keputusan besar diambil oleh keluarga besar kami. Aku harus meninggalkan Jakarta untuk tinggal di kampung. Tetapi, bukan kampung nenekku, melainkan kampung tempat tinggal dari sepupu kakekku yang ternyata jauh dari kampung nenekku, dan tempatnya lebih terpencil. Ibu tentunya akan tetap bersamaku, tapi ayah pada mulanya menolak ide ini, apalagi karena ayah baru tahu bahwa ibu sedang hamil.
Maka dimulailah kehidupan baruku bersama ibu dan bibiku.
TAMAT
